Campusnesia.co.id - Sejak sabtu 26 juni 2021 kemarin, lini masa twitter ramai dengan trending topik BEM UI. Topik ini menjadi perbincangan netijen setelah akun BEM UI @BEMUI_Official mengunggah postingan dengan caption "JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE" dengan disertai poster 8 slide yang masing-masing berisi kutipan media dan realitas kontradiksi apa yang disapaikan presiden dan kenyataan di lapangan, poster terakhir berisi referensi data yang digunakan.
Ini dia twitnya:
Hingga artikel ini ditulis (28/6/2021) twit tersebut telah di retwet oleh 18 ribu pengguna twitter dan mendapat 46 ribu like.
Perbinangan menghangat ketika muncul pro dan kontra, mayoritas pendapat mendukung sikap aksi BEM UI melalui media sosial ini, namun tidak sedikit pula yang kontra, bully hingga doxing ketua BEM UI, kebanyakan oleh akun-akun yang selama ini mendukung pemerintah, buzer hingga juru biara presiden.
Postingan ini berbuntut panjang, pada hari Minggu 27 Juni 2021 beredar surat undangan kepada Ketua dan Wakil BEM Ui beserta 10 orang lain dari unsur BEM dan DPM. Surat tersebut ditandangani oleh Direktur Kemahasiswaan Dr. Tirto Latif Indra, M.Si yang segera mendapat respon negatif dari netijen karena dianggap bentuk tekanan pada aksi BEM UI, lagi pula itu hari minggu loh.
Tidak sampai di situ, hari ini Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra, melaluiakun twitternya @leon_Alvinda mengumukan bahwa akun whatsapp dan sosial media sejumlah penguru BEM UI telah diretas dan diluar kendali pemiliknya, hmm...jadi ingat kasus beberapa waktu lalu.
twitnya
Oke sobat campusnesia, kami turut prihatin dengan apa yang dialami oleh rekan-rekan BEM UI, mestinya kritik terhadap peerintah disikapi dengan bijak bagian dari cek and balance dan kontrol sosial dari masyarakat.
Indonesia sejak sebelum merdeka hingga puncaknya reformasi yang menjadi tonggak sejarah, tidak luput dari peran gerakan mahasiswa, berawal dari rasa kepedulian atas nasib rakyat dan ketipangan yang terjadi dengan bekal intelektualitas mahasiswa punya tanggung jawab moral dan sosial dalam perubahan ke arah yang lebih baik, salah satunya lewat perjuangan.
Sambil terus memberi support pada perjuangan rekan-rekan mahasiswa baik dari BEM UI maupun elemen yang lain, kali ini campusnesia akan berbagi beberapa rekomendasi film yang berkisah tentang pergerakan mahasiswa yang diangkat dari kisah nyata, semoga bisa jadi pembelajaran dan inspirasi.
1. Gie
Gie adalah sebuah film biopik garapan sutradara Riri Riza. Gie mengisahkan seorang tokoh bernama Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia yang lebih dikenal sebagai demonstran dan pecinta alam.
Film ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie sendiri, tetapi ditambahkan beberapa tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis. Menurut Riri Riza, hingga Desember 2005, 350.000 orang telah menonton film ini.
Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie memenangkan tiga penghargaan, masing-masing dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Nicholas Saputra), dan Penata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau). (sumber: Wikipedia)
Sinopsis Film Gie
Soe Hok Gie merupakan aktivis dan penulis di tahun 60-an. Dia sering menempatkan diri di luar pemerintahan bahkan melawannya.
Saat itu, Presiden Soekarno sedang berkuasa. Dalam kesehariannya, Gie terkenal sebagai orang lurus, jujur dan tidak kenal kompromi. Kejujurannya ini pula yang sering menjadi asal-muasal konflik dengan orang sekitarnya.
Namun cintanya pada Indonesia dan dunia mahasiswa membuatnya harus bersikap seperti itu. Gie tidak sungkan untuk angkat bicara ketika ada hal yang dia anggap merusak Indonesia.
Perjuangannya melawan tirani berhenti sejenak saat pemerintahan Soekarno turun. Namun dia sangat kecewa ketika melihat perjuangannya melawan rezim yang berkuasa saat itu, justru melahirkan rezim baru dan menyebabkan pembantaian jutaan orang yang tertuduh komunis. Salah satu sahabatnya, Tjin Han juga menjadi korban.
Waktu demi waktu berlalu. Orang-orang di sekitar Gie mulai menyesuaikan diri dengan rezim baru. Beberapa orang bahkan melakukan korupsi. Gie masih sama seperti dulu, menolak untuk diam.
Penolakan dan perlawanan Gie juga masuk di wilayah militer yang keras. Nyatanya idealismenya ini membuat teman-teman Gie meninggalkannya. Perempuan yang dia cintai juga kemudian menolaknya. Dalam semua kesemrawutan dunia, hanya alam yang menjadi sahabat dan tempatnya bisa tenang.
Alam itu pula yang nantinya menjadi tempat Gie mengembuskan nafas terakhir. Film ini tidak hanya memberikan hal-hal baik dari Gie, namun juga menyuguhkan gambaran dari berbagai sisi dan sudut pandang. Sinematografinya juga tergolong unik, mengangkat kembali visual film Indonesia tahun 1970-an.
Yang mau nonton film Gie secara legal, kini tersedia di Mola tv.
2. Film Di Balik 98
Film ini disutradarai oleh Lukman Sardi ini perdana tayang pada 2015. Pemeran utama dalam film adalah Chelsea Islan dan Boy Williamyang terinspirasi dari kisah nyata tragedi 1998 ini.
Tayang sepanjang 106 menit, film Di Balik 98 berkisah tentang orang yang berjuang menemukan kembali keluarganya saat terjadi tragedi kerusuhan akibat krisis moneter pada1998.
Orang pertama adalah Diana (Chelsea Islan) yang berada di posisi bersebarangan dengan keluarganya dalam peristiwa ini. Diana adalah seorang mahasiswa yang aktif terlibat dalam demo menuntut turunnya presiden.
Sementara kakaknya, Salma (Ririn Ekawati) bekerja sebagai staf di kantor kepresidenan. Kakak iparnya, Bagus (Dony Alamsyah) merupakan tentara yang ditugaskan pengamankan demo mahasiswa.
Salma dan Bagus telah melarang adiknya ikut demo tetapi Diana dengan jiwa muda dan pemikirannya yang idealis menentang permintaan kakaknya.
Kedua adalah Daniel (Boy William). Daniel adalah kekasih Diana, sesama mahasiwa yang semula ikut demo. Namun ketika kerusuhan terjadi Daniel khawatir akan keselamatan keluarganya yang merupakan keturunan Tionghoa.
Ketiga adalah Rachmat (Teuku Rifnu Winaka), seorang pria pemulung yang memanfaatkan situasi untuk ikut menjarah barang di toko-toko. Ketiga orang ini harus terpisah dengan anggota keluarganya saat kerusuhan mulai pecah.
Salma yang tengah hamil besar nekat mencari adiknya yang ikut dalam demo dan kemudian dinyatakan hilang. Diana dan Bagus pun kebingungan mencari keberadaan Salma. Sementara Daniel, kehilangan ayah dan adik perempuannya setelah warga marah dan mulai memburu etnis Tionghoa.
Dan terakhir Rachmat harus kehilangan anaknya saat ia ikut masuk menjarah toko. Ketiga orang yang kehilangan ini saling berjuang mencari anggota keluarga masing-masing ditengah aksi kerusuhan yang kian memanas.
Yang mau nonton film Di Balik 98 secara legal sudah tersedia di Netflix.
3. Film 1987: When the Days Comes
Film asalnya dari Korea Selatan, berlatar sejarah dan kisah nyata. Film ini berjudul 1987:When The Days Comes. Bercerita era presiden Chun-Doo-Hwan dengan rezim militernya.
Pemeran Film 1987: When the Days Comes
Kim Yoon-seok sebagai Komisaris Park Cheo-won, seorang pemburu "komunis" yang tidak bermoral dan tanpa ikatan. Ha Jung-woo sebagai Jaksa Choi Hwan, yang menolak untuk tunduk atau diintimidasi oleh korupsi pemerintah.
Yoo Hae-jin sebagai penjaga penjara Han Byung-yong, seorang aktivis demokrasi yang berdedikasi dan berani. Kim Tae-ri sebagai Yeon-hee, keponakannya yang membantunya menyampaikan pesan ketika tidak sibuk dengan kuliah dan bekerja.
Park Hee-soon sebagai Letnan Jo Han Kyung, salah satu dari dua pembunuh kejam yang bersalah di antara LIMA dari mereka. Lee Hee-joon sebagai Reporter Yoon Sang-sam, anjing pemburu ulet yang mengejek pedoman sensor.
Review Film 1987: When the Days Comes
Film diawali dengan adegan penyelamatan seorang mahasiswa yang sedang sekarat. Ternyata mahasiswa ini adalah aktivis pro-demokrasi yang dituduh terlibat jaringan komunis. Setelah disiksa oleh para oknum aparat akhirnya meninggal.
Kemudian adegan berganti dengan latar kejaksaan, para oknum aparat meminta surat agar jenazah segera dikremasi dan keterangan penyebab kematian adalah serangan jantung. Jaksa muda Choi yang diperankan oleh Ha Jung-Woo. Jaksa menolak bahkan setelah mendapat tekanan dan intimidasi dari senior bahkan kantor kepresidenan, justru ia mengeluarkan surat perintah outopsi.
Kematian mahasiswa Park Jong-chul ini akan jadi cikal bakal demo besar-besaran menentang rezim otoriter dan mendukung agar korea selatan menjadi negara demokrasi.
Peran Pers, Mahasiswa dan para aktivis kental sekali. Kalian juga kan disajikan bagaimna sikap arogansi kekuasaan dan kasarnya militer. Penculikan, penangkapan, Kekerasan dan suap serta korupsi.
Karena ini berlatar sejarah maka endingnya jelas bisa ditebak, tetapi cara sutradara bertutur melalui sinematografinya sangat memukau sepanjang film yang berdurasi dua jam.
Ngomong-ngomong kalian merasa familair gak dengan cerita besarnya? yup peristiwa serupa pernah terjadi di negeri kita saat Reformasi tahun 1998. Bagaimana masyarakat, pers, mahasiswa dan aktivis memperjuangkan demokrasi di indonesia dengan berbagai konsekuensi.
Kalian pasti tahu sebelum demo besar-besaran tahun 1998 juga diawali peristiwa meninggalkan mahaiswa trisakti yang kemudian menjadi triger aksi yang jauh lebih besar dan terjadi diseluruh indonesia.
Dan kita juga punya film serupa yang diperankan oleh chelsea iskan berjudul "dibalik 1998". Tetapi kalau bicara kualitas film jujur ini jauh lebih bagus.
Nah saran buat sobat campusnesia untuk menonton film ini. Kita bisa belajar tentang aktivisme. Selamat menonton dan sampai jumpa.
4. The Trial of the Chicago 7
Sebuah film drama hukum Amerika Serikat yang ditulis dan disutradarai oleh Aaron Sorkin. Film tersebut menampilkan Sacha Baron Cohen, Eddie Redmayne, Yahya Abdul-Mateen II, Jeremy Strong, Mark Rylance, Joseph Gordon-Levitt, Kelvin Harrison Jr., Frank Langella, William Hurt, dan Michael Keaton
Ide cerita The Trial of the Chicago 7, kisah nyata mengenai proses peradilan kotor terhadap para aktivis anti-perang yang menggelar demonstrasi berakhir ricuh pada 1968.
Pada tahun 2020 The Trial of the Chicago 7 akhirnya dirilis, dan kisah di dalamnya masih relevan di tengah marak protes Black Lives Matter setelah kematian warga kulit hitam, George Floyd dan Breonna Taylor, di tangan aparat Negeri Paman Sam.
The Trial of the Chicago 7 berhasil mengikatkan benang merah relevansi tersebut dalam satu paket sajian audio visual. Namun pada satu titik, paket itu "terlalu rapi" untuk menjadi gambaran sempurna satu pergerakan.
Film arahan Aaron Sorkin ini terinspirasi dari kisah nyata tentang proses peradilan terhadap delapan aktivis anti-Perang Vietnam dari tiga kelompok berbeda yang kerap dijuluki sebagai Chicago 7.
Pada 1968, mereka menggerakkan aksi damai menjelang Konvensi Partai Demokrat di Chicago. Namun, aksi tersebut berujung ricuh. Setahun kemudian, mereka diadili atas dugaan memicu kericuhan dan pelanggaran perbatasan.
The Trial of the Chicago 7 menyoroti proses peradilan yang penuh dengan ketidakadilan. Sorotan besar jatuh pada keputusan Presiden Richard Nixon untuk "mempertontonkan" sidang yang disebut-sebut sebagai show trial.
Sistem ini berkembang pada medio 1920-an, di mana persidangan hanya menjadi panggung sandiwara, padahal keputusan hakim terhadap para terdakwa sudah bulat. Sidang biasanya digelar terbuka untuk memberikan pelajaran bagi masyarakat.
Dalam film ini, sistem tersebut diterapkan untuk mengintimidasi kaum hippie, aktivis perdamaian, dan gerakan kulit hitam yang menentang Perang Vietnam.
Film yang diproduseri Stephen Spielberg ini bertabur bintang Hollywood. Sacha Baron Cohen akan berperan sebagai salah satu anggota Chicago 7, yaitu aktivis kenamaan Abbie Hoffman.
Selain Hoffman, formasi Chicago 7 diperkuat oleh Tom Hayden (Eddie Redmayne), David Dellinger (John Carroll Lynch), Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II), Jerry Rubin (Jeremy Strong), John Froines (Daniel Flaherty, dan Lee Weiner (Noah Robbins).
Sejumlah bintang lainnya juga turut meramaikan The Trial of the Chicago 7, termasuk Joseph Gordon-Levitt yang bakal menjadi jaksa Richard Schultz.
Bisa ditonton di Netflix.
Nomer 5 hingga 7 berikut tidak dilakukan oleh gerakan mahasiswa, tapi bagud dijadikan referensi dan inspirasi dalam perjuangan pergerakan masyarakat.
5. Film Dark Water
Dark Water, itulah judul film yang akan kita bahas. Rilis tahun 2019 yang disutradarai Todd Haynes dan ditulis oleh Mario Correa dan Matthew Michael Carnahan. Film ini diangkat dari artikel "The Lawyer Who Became DuPont's Worst Nightmare" oleh Nathaniel Rich yang diterbitkan di The New York Times Magazine tahun 2016.
Kisahnya sendiri pertama kali dilaporkan secara mendalam oleh dua wartawan lainnya, Mariah Blake, penulis artikel "Welcome to Beautiful Parkersburg, West Virginia" di HuffPost Highline, dan Sharon Lerner, penulis seri "Bad Chemistry" di The Intercept. Film ini dibintangi Mark Ruffalo, Anne Hathaway, Tim Robbins, Victor Garber, Mare Winningham, William Jackson Harper, dan Bill Pullman. Film ini dijadwalkan ditayangkan di Amerika Serikat pada 22 November 2019 oleh Focus Features dan di Indonesia pada 27 November 2019.
Pemeran
- Mark Ruffalo sebagai Robert Bilott
- Anne Hathaway sebagai Sarah Bilott
- Tim Robbins sebagai Tom Terp
- Bill Camp sebagai Wilbur Tennant
- Victor Garber sebagai Phil Donnelly
- Mare Winningham sebagai Darlene Kiger
- Bill Pullman sebagai Harry Deitzler
- William Jackson Harper sebagai James Ross
- Louisa Krause sebagai Karla
Jalan Cerita (Spoiler)
Suatu hari Robert Billott yang merupakan pengacara muda sedang naik daun di firma hukum Taft didatangi oleh seorang perternak dari Parkersburg Virginia Barat bernama Wilbur Tennant. Ia meminta Robert untuk menjadi pengacaranya. Sang peternak ingin menggugat sebuah pabrik kimia dan peralatan rumah tangga DuPont yang menurutnya menjadi penyebab matinya 190 ekor sapi di peternakannya.
Dengan sedikit drama, Robert akhirnya mendatangi peternakan Tennant, di sana ia mendapati ratusan kuburan sapi di peternakan, ia ditunjukkan bukti perubahan dan rusaknya organ sapi yang teracuni limbah parbik DuPont.
Kasus ini menjadi hal yang tidak mudah bagi Robert karena karir pribadi dan perusahaan tempat ia bekerja yaitu Firma Hukum Taft selama ini adalah firma hukum yang khusus melayani pembelaan Korporat, sedangkan dalam kasus ini ia akan melawan sebuah perusahaan. Setelah menyakinkan Bosnya akhirnya ia diijinkan.
Penelitian dimulai, puluhan vidio hasil rekaman peternak Tenant diamati, begitu pula ratusan dokumen dari perusahaan DuPont dari tahun 70an yang harus dicek satu persatu untuk mencari korelasi fenomena matinya sapi-sapi peternak tenant dengan aktifitas di parbik dupont.
Fakta yang Mengejutkan
Robert akhirnya menemukan beberapa dokumen milik perusahaan DuPont yang "seakan menyembunyikan sesuatu" yaitu bahan kimia yang diberi nama Asam perfluorooktanoat (PFOA atau C-8). Karbon sistesis yang pada masa perang digunakan untuk melapisi Tank agar tahan air. Oleh Dupont bahan kimia ini diaplikasikan pada perlatan rumah tangga yaitu Wajan Teflon, iya wajan teflon anda tidak salah baca dengan tujuan agar makanan yang dimasak tidak lengket serta aplikasi pada barang lain misalnya jas hujan, karpet dll.
Masalahnya, makanan, air dan lingkungan bisa terpapar bahan kimia ini. Dalam adegan mencari fakta Robert menemui seorang ahli kimia, ia bertanya bagaimana jika bahan ini masuk atau tertelah ke dalam tubuh hewan atau manusia, ahli kimia itu menjawab "kamu pasti tidak mau menelanya" karena tidak akan terurai oleh mekanisme tubuh ibarat kita memakan Ban Karet.
Robert akhirnya menemuka titik terang dari fenomena kematian ternak tuang Tennant dengan limbah perusahaan Dupont. Sayangnya satu persatu masyarakat di sekitar pabrik mulai terpapar dan menunjukkan gelaja sakit yang diduga akibat limbah tersebut.
perkembangan signifikan akhirnya terwujud, ribuan orang pekerja dan warga sekitar pabrik mau mengikuti uji darah untuk meneliti dampak limbah pabrik. Proses ini butuh waktu hampir tujun tahun saking banyaknya sampel yang harus di analisis. Penelitian itu membuktikan ribuan orang yang mengikuti tes darah positif kemungkinan menderita beberapa penyakit yang disebabkan limbah misalnya kanker, tiroid dll.
Perjuangan di pengadilan
Sayangnya kasus ini tidak bisa diselesaikan di ranah pidana walau secara dampak sangat mengerikan. Robert dan firma hukumnya akhirnya memilih mendampingi para korban dalam Perdata dan memenangkan kasus ini. Perusaahan DuPont terbukti bersalah dan menyebabkan ribuan orang sakit, dan harus membayar denda jutaan dollar serta menanggung biaya pengobatan korban.
Dejavu dengan Pencemaran Lingkungan di Indonesia
Secara kualitas film ini bagus sekali menurut saya dalam hal sinematografi, yang lebih penting lagi Film Dark Water ini membuat saya merinding mengetahui fakta-fakta yang disajikan. Seketika membawa pikiran saya ke Indonesia.
Bicara pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah industri yang sembarangan kita tahun beberapa kasus besar di Indonesia. Sungai Citarum misalnya dan Sungai Bengawan Solo yang berwarna hitam pekat dengan bau menyengat.
Beberapa waktu yang lalu sempat heboh di twitter akun PDAM di Blora mengeluh akan kualitas air dari bengawan solo yang rusak hingga berwarna hitam pekat dam bau padahal air sungai tersebut selama ini digunakan sebagai bahan baku untuk air PDAM yang dilairkan ke warga.
Belum lagi kasus-kasus lain di luar pulau jawa yang tidak kalah membuat bulu kuduk merinding. So sebagai penutup dari review film ini tentu saja saya merekomendasikan sobat semua untuk menonton apalagi bagi kamu yang bergerak dalam aktivisme lingkungan hidup.
Bagi kita warga biasa, mari mulai peduli terhadap lingkungan langkah paling sederhana bisa dimulai dengan tidak membuang sampah sembarangan, mulai aware pada benda-benda dan makan yang kita gunakan dan konsumsi sehari-hari.
6. Film Spotlight
Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan berita yang datang dari luar negeri, seorang mahasiswa Indonesia menjadi tersangka pemerkosaan sesama jenis dengan korban mencapai ratusan orang.
Kasus ini terungkap tahun 2017 dan setelah melewati penyelidikan dan sidang tertutup, hakim memutuskan hukuman seumur hidup untuk pelaku dan membuka kasus ini ke publik.
Tak tanggung-tanggung beberapa media menyebut peristiwa ini sebagai kasus terbesar dalam sejarah inggris..miris.
Spotlight
Bicara pengungkapan kasus pelecehan seksual saya jadi teringat sebuah film yang berjudul Spotlight yang rilis pada tahun 2015.
Film ini disutradarai oleh McCarthy dan Skenario ditulis oleh Tom McCarthy bersama Josh Singer dibintangi oleh Mark Rufallo, Michael Keaton, Rachel McAdams, Liev Schreiber, John Slattery, Brian, d'Arcy James, Stanley Tucci.
Dibuat berdasar kisah nyata skandal pelecehan seksual oleh para pendeta.
((Spoiler))
Pada tahun 1976, di kantor polisi Boston, dua polisi membahas penangkapan pastur Katolik John Geoghan dalam pelecehan seksual terhadap anak dan adanya monsinyur berpangkat tinggi yang berbicara dengan ibu dari anak tersebut. Seorang asisten jaksa wilayah masuk ke kantor polisi dan mengatakan kepada polisi agar tidak membiarkan pers mengetahui kasus ini. Penangkapan dibatalkan dan pastur dibebaskan.
Pada tahun 2001, The Boston Globe mempekerjakan editor baru, Marty Baron (Liev Schreiber). Marty bertemu dengan Walter "Robby" Robinson (Michael Keaton), editor tim Spotlight dari surat kabar tersebut, sekelompok kecil jurnalis yang membuat artikel investigasi yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meneliti dan menerbitkan.
Setelah Marty membaca sebuah kolom The Boston Globe tentang seorang pengacara, Mitchell Garabedian (Stanley Tucci), yang menyatakan bahwa Kardinal Bernard Law (Len Cariou), yang merupakan Uskup Agung Boston, mengetahui bahwa John Geoghan telah melakukan pelecehan terhadap anak-anak secara seksual dan tidak melakukan apapun untuk menghentikannya, ia mendesak tim Spotlight, termasuk jurnalis Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), untuk menyelidiki kasus tersebut. Jurnalis Michael Rezendes (Mark Ruffalo) menghubungi Mitchell, yang awalnya menolak untuk diwawancarai. Meskipun ia diberitahu untuk tidak melakukannya, Michael mengungkapkan bahwa ia berada di tim Spotlight, membujuk Mitchell untuk berbicara.
Percaya bahwa mereka mengikuti kisah seorang pastur yang beberapa kali dipindahkan, tim Spotlight mulai membongkar pola pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh pastur Katolik di Massachusetts, dan sebuah penutupan yang terus berlanjut oleh Keuskupan Agung Boston. Melalui Phil Saviano (Neal Huff), ketua komunitas korban pelecehan seksual oleh pastur, mereka memperluas pencarian mereka hingga mencapai tiga belas pastur.
Mereka mengetahui melalui Richard Sipe (Richard Jenkins), mantan pastur yang bekerja untuk rehabilitasi pastur pedofilia, bahwa secara statistik, sekitar 90 pastur yang melakukan kekerasan di Boston (enam persen pastur). Melalui penelitian mereka, mereka memperluas pencarian hingga mencapai 87 pastur dan mulai menemukan korbannya untuk mendukung kecurigaan mereka.
Ketika serangan 11 September 2001 terjadi, tim Spotlight terpaksa untuk tidak memprioritaskan ceritanya. Mereka mendapatkan kembali momentum ketika Michael belajar dari Mitchell bahwa ada dokumen yang tersedia untuk umum, yang memastikan bahwa Kardinal Bernard Law sadar akan masalah tersebut dan mengabaikannya. Meskipun Michael berargumen untuk merilis ceritanya segera sebelum banyak korban yang menderita dan surat kabar saingan menerbitkannya, Robby tetap teguh untuk meneliti lebih jauh sehingga masalah yang sistemik ini dapat dipaparkan secara terbuka. Setelah The Boston Globe memenangkan sebuah kasus untuk mendapatkan lebih banyak dokumen legal yang dibuka yang memberi bukti gambaran kasus pelecehan yang lebih besar itu, tim Spotlight akhirnya mulai menulis ceritanya dan berencana untuk mempublikasikan penemuan mereka di awal tahun 2002.
Ketika mereka hendak mencetak, Robby mengaku kepada tim Spotlight bahwa pada tahun 1993, pengacara Eric MacLeish (Billy Crudup) memberikan daftar 20 pastur pedofilia kepadanya, di mana Robby tidak mengikutinya. Namun Marty tetap memuji Robby dan usaha timnya untuk mengungkapkan kejahatan sekarang.
Ceritanya berlanjut dengan mencetak tautan web ke dokumen yang mengungkapkan kelambanan Kardinal Bernard Law dan nomor telepon korban pastur pedofilia. Keesokan paginya, tim Spotlight mendapat banyak telepon dari para korban yang datang untuk menceritakan kisah mereka.
Terakhir, daftar tempat di Amerika Serikat dan di seluruh dunia di mana skandal besar pelecehan seksual oleh pastur ada dan terjadi, dan sebuah pernyataan dibuat bahwa Kardinal Bernard Law mengundurkan diri, tetapi akhirnya ia dipromosikan ke Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, salah satu gereja terbesar di dunia. (Wikipedia)
Dalam film terungkap betapa tidak mudahnya mengungkan kasus pelecehan seksual ini, selain karena pelaku yang merupakan tokoh agama, kekhawatiran akan menjadi kehebohan di publik serta korban yang enggan melapor karena tekanan psikologis.
Jika kamu suka film drama bertema jurnalisme seperti The Post, Kill The Messenger jangan lewatkan film Spotlight ini.
7. Film The Post
Satu lagi film bertema Jurnalisme, berlatar tahun 1970-an era presiden Nixon. Dibintangi aktor papan atas Tom Hanks dan Meryl Streep dan dibangku sutradara Steven Spielberg yang bisa jadi jaminan akan kualitas film drama ini.
Film ini berbicara banyak hal, tentang koran Washinton Post yang sedang bersaing dengan New York Time. Masa transisi kepemimpinan ke Katharine Graham dengan terpaksa karena suaminya meninggal akibat kecelakaan.
Dia yang hanya ibu rumah tangga tiba-tiba harus menjadi pemimpin perusahaan surat kabar yang akan melantai di bursa saham dan harus bernegosiasi dengan para kreditur/investor.
Tapi bukan itu tema besarnya, yang diangkat adalah isu tentang bocornya dokumen rahasia tingkat tinggi pemerintah Amerika yang menyatakan bahwa keputusan melanjutkan perang dan mengirim tentara terus menerus ke Vietnam adalah tindakan salah.
Awalnya New York Time yang mendapat bocoran dokumen ini, setelah dipublikasikan pemerintah melayangkan gugatan dan dibredel.
The Washinton Post yang merasa ketinggalan dalam hal berita utama tentang dokumen perang vietnam ini akhirnya mendapat narasumber dan salinan dokumen yang sama. Di sinilah drama dimulai.
Dari bagaimana proses memperoleh sumber dan dokumen, proses pemilahan dokumen yang acak agar tersusun menjadi sebuah runutan peristiwa kemudian ancaman Hukum dari pemerintah dan kegalauan pemilik perusahaan ketika ditekan oleh para investor agar membatalkan memuat berita tersebut yang dikhawatirkan akan berdampak terhadap nilai saham perusahaan.
Endingnya menarik bagaimana akhirnya pemilik perusahaan memilih tetap menjunjung nilai kebenaran dan kode etik pers harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan kebenaran walau banyak konsekuensinya.
Di akhir film semacam easter egg yang bisa jadi akan diangkat di film berikutnya, yaitu peristiwa yang tak kalah heboh dalam sejarah Amarika yang disebut Watergate Scandal yang memaksa presiden Nixon mundur kala itu.
Sebenarnya ada film yang nyambung walau digarap oleh sutradara dan PH yang berbeda yang berjudul Mark Felt biografi wakil direktur FBI yang menangani kasus watergate.
Nah buat sobat campusenesia penggemar film drama, yang satu ini pantang dilewatkan. Ada beberapa bonus juga menurut penulis, kita jadi punya gambaran bagaimana industri surat kabar era 1970-an dari sisi teknis dan atmosfirnya.
Semoga bermanfaat sampai jumpa.
Penulis: Nandar