Campusnesia.co.id - Ada masa dimana saya begitu antusias menyambut dan mengikuti pemilu, yaitu ketika 2014. Terlibat mendukung partai dan pasangan calon presiden serta sesekali ikut mengkampanyekan baik offline maupun online, saru kata seru sekali.
Hingga makin kesini, semakin males mengikuti politik, pemilu dan copras-capres.
Saya merasa sebagai rakyat hanya dibutuhkan suaranya lima tahun sekali, setelah itu ya silahlan lanjutkan hidupmu sendiri. Dalam era politik bagi-bagi ini rasanya kalau bukan lingkaran terdekat kekuasaan ya gak bakal bakal kecipratan kuenya.
Beberapa hal yang membuat saya muak dan merenung, yang katanya pesta demokrasi hanya milik kaum elit, rakyat hanya jadi objek komoditas politik saja.
Bagaimana bisa, boleh tidaknya partai mengusung capres dan wapres ditentukan oleh hasil pemilu 5 tahun lalu, ibarat makanan sudah basih kan ya.
Lalu tiba-tiba dimunculkan sosok-sosok yang katanya layak jadi capres dan wapres 2024 kelak hanya berdasar popularitas, jabatan yang dipegang sekarang serta dukungan dari partai-partai besar.
Masyarakat digiring untuk membicarakan dan menggosipkan nama-nama yang disodorkan tadi tanpa kita tahu apa yang akan mereka tawarkan ketika nanti jadi presiden dan wakil presiden.
Perdebatan hanya soal populer tidak populer, apakah trending di youtube dan twitter, apakah masuk fyp viral atau tidak, nir esensi, nir narasi.
Partai jadi mesin politik yang malas membuat program, mengajukan narasi perubahan dan perbaikan bangsa, menggoreng tiket dan sosok populer capres dan cawapres berharap dapat efek elektabilitas saat hari H pencoblosan.
Di tengah semua pepesan kosong dan pesta domokrasi yang kalau dirasa bakal cuma jadi pesta elitis saja, setidaknya ada beberapa syarat dan kriteria yang saya pasang untuk memberikan dukungan dan suara yang berharga.
Calon legislatif dengan program reaslistis, jadi kriteria pertama bukan tentang partai apa yang mengusung tapi program apa yang akan dibawa sang calon.
Misal ada calon anggota DPR yang berani menjanjikan revisi UU ITE disertai makalah tertulis bagaimana ia akan memperjuangkan idenya saat jadi dewan, yang begini layak dipilih.
Sebagaimana konsep pemilihan langsung dimana suara amanah rakyat dititipkan ke calon langsung bukan partai, anggota DPR dari semua jenjang mestinya hanya tunduk pada konstituennya yang memberikan suara, buka dibajak oleh partai mau saja diarahkan oleh ketua umum.
Partai tak semestinya lebih powerfull dari anggota yang dipilih rakyat, partai hanya fasilitator, tempat menggodok dan menempa calon-calon wakil rakyat, tak seharusnya anggota dewan dan pejabat publik yang dililih rakyat langsung begitu terpilih tiba-tiba jadi pegawai partai, harus nurut apa kata ketum, sudah gak jaman.
Demikian juga partai, hari-hari ini nyaris tidak ada partai yang punya narasi besar untuk masa depan Indonesia.
Sibuk menawarkan tiketnya pada sosok-sosok yang oleh media terus diangkat, berharap ada pemodal yang tertarik mendanai sehingga jadi bahan bakar untuk pemilu.
Mestinya partai menawarkan narasi-narasi bukan tiket capres yang sudah basi.
Isunya juga sewajarnya yang visioner seperti keamanan internasional, kesehatan dunia dan climate change.
Jangan salah mengira bahwa isu-isu seperti perubahan iklim adalah bahasan elit dan kaum akademis.
Kostan yang siang malam makin panas, hujan di musim kemarau, banjir bandang tanpa pertanda, gelombang tinggi, polusi udara, petani gagal panen, sampah plastik dll adalah bagian dari climate change yang dirasakan petani, nelayan, rakyat hingga anak kost.
Jika ada partai politik yang aware dengan isu-isu seperti itu dan mampu membahasakan dalam narasi sederhana serta punya solusi yang ditawarkan, fix akan saya pertimbangkan untuk dicoblos 2024 nanti.
Bagi anda yang mau nyalon DPR, Gubernur, Bupati atau Presiden saya tunggu apa narasi besar anda, kalau hanya modal populer, blusukan dan bagi-bagi hadiah, maaf sudah gak menarik lagi.
Penulis
Achmad Munandar