Campusnesia.co.id - Seingatku itu Ramadhan tahun 2008, sebuah panggilan telpon dari asrama putri etos semarang. Di ujung telpon suara khas terdengar jelas dari mbak Anti pendamping asetri sekaligus angkatan 2007.
"Tolong dong bantuanya ikhwan asetra, ambilin air untuk asetri, sumurnya kering lagi" kata beliau singkat padat jelas.
Kala panggilan itu terjadi, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul empat sore, tak banyak orang di asetra, oleh mas Pariman pendamping asrama yang masih berstatus mahasiswa juga, mengutus saya dan Khaqul, rekan seangkatan beda jurusan yang pinter nyanyi dan orangnya kocak habis dengan logat Tegal Ngapaknya.
Tanpa banyak tanya dengan prinsip samina wa athona, kami segera meluncur dengan kendaraan dinas pinjaman mas P-man, motor Nonda Astrea Star versi 19895 yang kalau buat nanjak di Sigar Bencah Meteseh dan Gombel Lama membuat penumpangnya tiba-jadi sholeh karena tiba-tiba jadi banyak berdoa semoga kuat menanjak selamat sampai tujuan.
Semula kami mengisi galon-galon kosong di sebuah embung, belik atau sumber mata air di area Tunjung Sari Tembalang, namun karena sering dipake juga lama-lama kualitas airnya jadi agak keruh.
Fyi, Tembalang sebagai sebuah kelurahan dengan jumlah penduduk puluhan ribu karena mahasiswa pendatang, di beberapa daerahnya selalu terdampak kesulitan air bersih saat kemarau tiba, apalagi yang masih menggunakan sumur artesis yang dalamnya berkisar 7-12 meter.
Pada masanya, saat asrama masih di daerah Timoho, saat kemarau tiba dan ada jadwal kuliah pagi, kami bergantian mandi di maajid terdekat atau mampir ke kosan teman sekedar untuk membersihkan diri.
Kembali ke tugas kami sore itu, "ngangsu air" untuk asetri, entah darimana akhirnya muncul ide, "eh ambil saja dari gedung prof. Soedarto" di setiap sudutnya ada kran untuk menyiram tanaman, atau mencuci tangan, kami paham betul karena nyaris tiap pekan selalu menggunakan sayap kanan-kiri gedung prof. Soedarto untuk acara pembinaan.
Biar gak terkesan seram pembinaan ini adalah istilah untuk acara talkshow, diskusi dan pelatihan bersama para pakar dan pembicara.
Tak terasa setelah sekitar lima kali bolak-balik Nirwana sari - kampus undip, adzan magrib pun berkumandang, beberapa ember sudah terisi dan kami berencana pamit sama mbak Anti.
Namanya rejeki, kadang bisa datang dari mana saja, sebelum pulang mbak Anti memberi kami berdua selembar uang berwarna agak kehijauan, tak diragukan lagi itu uang dua puluh ribu, "alhamdulillah bisa buka puasa serasa pesta nih" ucap saya dalam hati.
Dalam perjalanan pulang, saya dan khaqul memutuskan mampir di sebuah warung burjo di pinggir jalan Banjarsari.
Dari pintu masuk kami sudah lantang dan percaya diri memesan "dua mie rebus pake telur a, minumnya es teh"
Ada yang janggal, setelah duduk baru sadar, di bangku sebelah berderet senior saya di kampus, "apes..ospek belum juga selesai, malah ketemu senior di warung burjo"
Belum lagi posisi saya sebagai ketua tingkat yang sesekali dipanggil senior ke basecamp, buka puasa sore itu jadi canggung sekali.
Setelah senyum dan menyapa "mass..he he he" saya coba untuk sibuk bahas apapun dengan Khaqul biar gak ada kesempatan berbincang sama senior.
Hingga pesanan pun akhirnya datang, semangkuk mie instan dengan toping telur ceplok rebus setengah matang dan beberapa helai daun sawi yang masih hijau serta es teh yang dari warna marunnya terbayang kesegarannya.
Makan mie kurang nikmat tanpa tambahan saos, sedikit bubuk merica dan tentu saja kecap manis.
Di sinilah letak tragedi itu terjadi, saat saya dengan pede mengambil botol berwarna gelap dan menuangnya ke mangkok sambil terus bicara sama Khaqul, mata senior-senior di seberang meja melihat serius ke arah saya.
Sambil terus gugup dan berfikir dalam hati kesalahan apa yang sudah saya perbuat saya aduk mie instan di mangkok dan mencicipinya.
Lha kok manis? Ha ha semua tertawa, ternyata botol berwarna gelap yang saya ambil dan tuang bukan kecap asin melainkan Sirup yang biasa untuk tambahan bubur kacang hijau.
Setelah tertawa antara lucu dan tragis, sore itu dilema melanda hati saya, mie instan rasa sirup yang manis asin ini kalau dibuang sayang, kalau dimakan aneh.
Keputusan jatuh pada pilihan tetap memakannya, bagaimanapun membuang makanan itu tidak baik mengingat tidak setiap hari kami bisa makan mie instan dengan toping telur dan sawi, tapi tetap saja mie instan rasa manis asin adalah menu burjo yang ganjil sekali.
Ku kira kau kecap manis ternyata sirup manis.
Penulis
Achmad Munandar