Campusnesia.co.id - Tempe merupakan salah satu lauk terfavorit dari seluruh kalangan masyarakat di Indonesia. Hal ini seharusnya membuat permintaan tempe meningkat, namun siapa sangka jika selama pandemi jumlah permintaan pasar terhadap tempe dan tahu menurun drastis?
"Melonjaknya harga kedelai adalah penyebab utama turunnya permintaan pasar, ini membuat para pengrajin tempe harus memutar otak agar usahanya tetap berjalan di tengah kesulitan ekonomi selama pandemi ini." Kata Pak Ngadinu, selaku salah satu pengrajin tempe di kediamannya sekaligus rumah produksi tempe di Kelurahan Plombokan, Kecamatan Semarang Utara.
Pria kelahiran Klaten yang berumur 45 tahun ini mulai menjadi pengrajin tempe sejak tahun 1998. Selama 23 tahun beliau menjalankan usahanya, baru kali ini terjadi kenaikan harga kedelai yang sangat tinggi, bahkan hingga menyebabkan kebangkrutan pada pengrajin tempe pemula atau yang produksinya masih sedikit.
Istri sekaligus partner usaha Pak Ngadinu yaitu Bu Fitri menambahkan jika harga kedelai yang biasanya 7-8 ribu per kilogram naik hingga 10 ribu dan puncaknya harga melonjak hingga 12 ribu per kilogram.
Pasangan suami istri ini mulai merintis usaha sejak satu tahun sebelum menikah. Oleh karena itu pekerjaan pengrajin tempe adalah sumber penghasilan utama keluarga mereka. Adapun cara yang dilakukan oleh Pak Ngadinu untuk meminimalisir dampak kerugian yang besar selama pandemi dan kenaikan harga kedelai bukan dengan menaikkan harga jual tempe, melainkan dengan mengurangi berat timbangan kedelai.
"Wah kalau harganya dinaikkan, langganan saya pada protes dan tidak mau lagi membeli tempe saya, jadi saya harus mengurangi timbangan agar tidak perlu menaikkan harga. Mengurangi timbangan pun sebetulnya juga tidak terlalu efektif, labanya sedikit sekali untuk harga kedelai sekarang ini. Apalagi selama PPKM permintaan tempe menurun akibat warung warung tutup dan hanya berjualan sebentar karena sepi ditambah lagi keterbatasan waktu berjualan." Ungkap Pak Ngadinu saat diwawancarai pada hari Jumat, 30 Juli 2021.
Walaupun kondisi usaha Pak Ngadinu dan Bu Fitri cukup terdampak, tetapi mereka tetap bersyukur karena setidaknya mereka masih mendapatkan laba meskipun sedikit namun tidak sampai mengalami kerugian besar hingga gulung tikar seperti beberapa pengrajin tempe lainnya.
Terlebih jika melihat orang orang lain yang kesulitan untuk menyambung hidup selama pandemi covid 19. Hal inilah yang membuat mereka tidak mengeluh dan tetap berusaha bersama.
Penulis: Rosi Indah Puspitasari
Editor: Ika Shintya
** Artikel ini merupakan bagian dari program Magang Online Campusnesia season 2