Campusnesia.co.id -- Exposure, beberapa hari yang lalu heboh di jagad twitter, seseorang dengan akun @NNugi ngetwit ada youtube yang minta trip ke amerika dengan jumlah 20 orang dan barter dengan exposure video vlog dan Instagram Stories.
Bicara barter dengan exposure, ini bukan kali pertama, sebelumnya rame juga seorang selebgram yang minta tempat acara dibayar dengan exposure.
Jadi sebenarnya Exposure ini mata uang apa?
Di era sosial media ini, lahirlah istilah-istilah baru seperti selebtwit, selebgram dan youtuber. Merujuk pada jumlah follower, subcriber sebuah akun sosial media yang di atas rata-rata, dari puluhan ribu hingga jutaan.
Fenomena baru ini kemudian menjadi peluang bisnis dan ajang promosi. Pemilik sosial media dengan jumlah follower besar diasosisikan sebagai influenser yang postingannya dapat mempengaruhi kesan, pilihan dan referensi pengikutnya.
Sederhananya, jadi semacam media promosi. Berawal dari tawaran pemilik produk atau brand, kini pemilik sosial media berfolower besar juga membuka atau menawarkan jasa promoso mereka yang sering diswbut exposure.
Apakah iklan dengan influenser sosial media efektif?
Bicara efektifitas harus dilihat datanya, yang akhir-akhir ini jadi perdebatan memang salah satunya efektifitasnya.
Namanya promosi, salah satu indikator paling sederhana untuk melihat keberhasilannya adalah dari konversi, jika yang diiklankan adalah suatu produk, cara mengetahui sebuah iklan berhasil atau gagal bisa dilihat dar seberanaya banyak produk yang terjual.
Sebagai contoh, iklan dengan Facebook ads sebesar 100.0000 jika berhasil terjual 100 produk dari iklan tersebut berarti 1 produk membutuhkan biaya iklan 1.000. Namun jika sedikit bahkan tidak ada produk yang terjual, bisa dibilang iklannya gagal.
Nah kembali ke bahasan Exposure di atas, jumlah dana yang besar untuk membayar exposure akankah sebanding dengan hasil yang akan didapatkan?
Tidak perlu mencoba dulu, efektifitas bisa diperkirakan dengan beberapa hal, misalnya tentang demografi follower dan subcriber, range usia, pekerjaan, domisili, jumlah engagment seperti jumlah yang melihat, like dan komen dari rata-tiap tiap post atau konten.
Kalau tidak sesuai dengan target market dan jumlah minimum engagment yang diharapkan, maka tanpa perlu mencoba bisa diukur efektivitasnya.
ads
Solusi
Sebagai pelaku usaha, saya juga beberapa kali mendapatkan penawaran serupa, misal customer yang memesan produk souvenir dan minta dibayar dengan exposure, posting produk dan testimoni di sosial media.
Biasanya tanggapan saya adalah, minta agar pesenannya dibayar dulu, kemudian tawaran iklanya minta disampaikan di bagian marketing karena ini dua divisi yang bebeda.
Untuk jadi tidaknya kerjasama, kembali harus dibahas banyak hal yang saya sampaikan di atas.
Promosi yang paling efektif
Menurut pengalaman saya, cara promosi yang paling efektif hampir pasti tidak sama antara jenis usaha satu dengan yang lainnya.
Karena setiap produk dan jenis usaha memiliki segmentasi pasar dan perilaku yang berbeda.
Jadi cara promosi yang paling efektif adalah yang sesuai dengan segmen dan prilaku calon customer kita.
Kalau customernya punya kebiasaan membaca koran, iklan dan promosi di koran justru akan lebih efektif dibanding di instagram misalnya.
Untuk para selebgram dan sebagainya, sebelum menawarkan jasa promosi juga sebaiknya paham tentang demografi follower atau subcriber yang dimiliki sehingga tahu "komiditi" yang ditawarkan.
Penulis
Nandar dari Loetju.com