Ditulis oleh:
M. Najib AR
penulis lepas, bekerja dan bermukim di Semarang.
Pasca pilpres 2019 ini, barangkali kita perlu merenungkan pepatah lawas: sebatang lidi tak berarti apa-apa, tapi bila diikat jadi satu akan menyapu segalanya. Ini bisa menjadi tengara. Atau peringatan. Sebagai bangsa besar dan beragam kita berpotensi menjadi hebat, tetapi dengan prasyarat kita mampu bersama-sama dalam keutuhan. Tekad bersama berarti pula kita tahu kapan berkompetisi secara sehat, dan kapan itu perlu dan harus diakhiri.
Kita memang tak bisa naif bahwa kompetisi menggairahkan hasrat ingin menang. Pemilihan Umum, yang baru saja usai kita gelar, adalah arena kontestasi. Tetapi kontestasi itu sejatinya tidak bisa disederhanakan menjadi “kalah-menang” atau “pemenang-pecundang”. Ibarat kita sebagai keluarga, kita tengah memutuskan sesuatu dan memilih solusi terbaik—soal kepemimpinan.
Bahkan seandainya kita salah memilih, kita tak sepatutnya saling menyalahkan. Disepakati bersama, ditanggung bersama. Lagi pula, siapa diantara dua pasang calon pemimpin dalam pilpres 2019 yang diragukan niat baiknya? Dua-duanya adalah tokoh-tokoh terbaik yang dimiliki “keluarga-bangsa” ini. Dua-duanya patut kita cintai.
Di sini tak perlu disodorkan banyak contoh dimana sebuah bangsa-negara hancur karena lalai dalam memahami makna sesungguhnya kontestasi. Mereka berlarut-larut dalam permusuhan yang sesungguhnya cenderung didasari emosi sesaat, tak dalam, dan serampangan. Lebih merugi lagi, ketika permusuhan negeri ini dimanfaatkan oleh kelompok atau negeri lain untuk mengeruk keuntungan mereka sendiri.
Sebab itu mari kita memikirkan dan merenungkan beberapa hal ini:
1. Jika memang masih ada yang membenci sesama keluarga (baik dalam arti sempit maupun luas), karena berbeda pilihan, luruhkanlah. Tidak pernah ada kemaslahatan apapun yang bisa diciptakan yang titik keberangkatannya adalah kebencian.
2. Jika memang masih ada yang ingin menyakiti hati manusia lain dengan sebutan-sebutan peyoratif—karena kebetulan tidak menyukainya, hentikanlah. Tidak pernah ada kehormatan sejati yang diperoleh dengan cara menjelekkan atau merendahkan orang lain.
3.Jika memang masih ada yang merasa belum puas dengan hasil yang nantinya diumumkan oleh KPU, gugatlah dengan cara yang tepat dan elegan. Tidak pernah ada martabat yang muncul dari cara-cara anarkis dan kekerasan yang membabi buta.
4. Jika memang masih ada yang menghendaki perubahan dan merasa bahwa harapan itu belum terakomodasi, maka bersabarlah. Lima tahun yang akan datang kita akan memiliki kesempatan serupa.
5. Jika memang merasa bahwa pemimpin yang memenangi kontestasi belum mampu memegang amanah, maka nantinya ingatkanlah dan berdoalah semoga pemimpin itu mau dan mampu menjalankan amanah.
6. Jika memang merasa bahwa negeri ini kurang maju atau kurang sesuai dengan harapan yang kita kehendaki karena ada persoalan kepemimpinan, maka kritiklah dengan santun karena negeri ini memberikan ruang yang luas untuk itu.
Sebagai keluarga, warga satu negara-bangsa, tak sepatutnya kita saling membenci dan bermusuhan, apalagi sebagai akibat kontestasi yang niat mulanya adalah sama-sama ingin memperbaiki negeri ini. Kebencian adalah penyakit. Permusuhan adalah penyakit. Dan setiap penyakit menjadikan kita lemah dan tidak sehat. Wallahu’alam.
***
Artikel ini bagian dari Lomba Menulis Gagasan 2019
Artikel ini bagian dari Lomba Menulis Gagasan 2019
dengan tema "Merajut Kembali Persatuan Pasca Pilpres 2019"
yang di adakan oleh Campusnesia.co.id x Loetju.com