Oleh: Siti Qulsyum Shofiyani, Fakultas Psikologi Universitad Gadjah Mada
“Negarawan Muda Indonesia bertekad, melanjutkan amanah pendiri bangsa dalam merawat Indonesia; Negarawan Muda Indonesia bertekad, menghidupkan integritas dalam membangun jiwa kepemimpinan pemuda; Negarawan Muda Indonesia bertekad, tetap berkhidmat pada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara”
Jikalau ditanya “apa motto hidup?” Penulis katakan bahwa tidak ada seorang pun yang mendapatkan jamuan dan layanan terbaik di akhirat kelak, kecuali dia yang selama hidupnya mampu memberikan pelayanan terbaik bagi sesama. Pun seperti yang dituturkan pada paragraf inspiratif di atas, Negarawan Muda ialah mereka yang berkhidmat pada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara
Lantas di manakah posisi kita—mahasiswa—selaku Negarawan Muda dalam perannya memberikan pelayanan tersebut?
Katakanlah, mahasiswa dan pemuda adalah “Pelukis Peradaban Negeri”. Mereka menggoreskan tinta emas dalam sejarah peradaban Negeri. Menaburkan benih keindahan dan keelokan pada setiap frase kehidupan. Seorang pelukis akan selalu mengerti dan memahami bagaimana menjadikan sesuatu terlihat indah dan proporsional. Seorang pelukis juga akan selalu tahu apa yang dibutuhkan terhadap apa yang dilukisnya, yaitu peradaban di Tanah Airnya–Indonesia.
Teringat seorang tokoh di Negeri ini—Natsir, sang pembaru peradaban. Natsir merupakan seorang nasionalis sejati dalam upaya pencapaian dan pembinaan kemerdekaan bangsa. Natsir beragumen, negara adalah alat yang diperlukan untuk menegakkan agama. Baginya, apa yang disediakan oleh doktrin di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum mengenai pembentukan sebuah negara. Nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat umum itu diantaranya ialah prinsip bahwa kekuasaan di dalam sebuah negara ialah “amanah” yang mesti dilaksanakan. Prinsip bahwa kekuasaan haruslah dijalankan berdasarkan ‘syura’ dengan berpedoman kepada asas keadilan dan persamaan.
Maka dari gagasan tersebut dapat disimpulkan bahwa peradaban negeri akan lahir ketika subtansi dan nilai-nilai luhur itu terjaga dan tetap melekat erat untuk menghiasi Indonesia. Ilmu pengetahuan yang sarat nilai-nilai langit tapi diejawantahkan dalam bahasa Bumi, tentu akan menciptakan suasana terpelajar yang penuh dengan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas, mengapa mahasiswa dan pemuda? Jawabannya karena usia mereka adalah usia potensial untuk berkarya dan menyiapkan diri memimpin bangsa. Bahkan jika kita merujuk pada Al-Qur’an, keberadaan anak muda menjadi pemimpin terbilang pada usia yang relatif belia. Sebagai contoh, perhatikan ayat ini,
“Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS. Al-Anbiya’: 60)
Kalimah (kata dalam bahasa arab) “Fata” merujuk pada usia remaja, biasanya dinisbatkan pada mereka yang berusia 16 atau 18 tahun. Jika dicari relevansinya dengan zaman sekarang. Nabi Ibrahim telah mulai bermanuver dakwah pada saat usia SMA anak zaman sekarang. Adapun Nabi Yusuf bisa dilihat pada QS. Yusuf: 19 dan Nabi Musa pada QS. Al-Qashash: 14.
Boleh dibilang, bulan Mei 1998 adalah bulan romantisme perjuangan mahasiswa kala itu. Berbagai cerita dan selebrasi kenangan terus di ulang agar publik teringat tentang apa yang pernah terjadi. Campur aduk perasaan, tentang perlawanan, pemberontakan, nasionalisme, reformasi, yang berakhir dengan syahdu bahagia karena sang penguasa telah turun tahta. Alhasil, Indonesia baru pun disambut riuh gembira ratusan juta warga Indonesia. Sadar atau tidak, sebagian dari kita, menjadikan 1998 sebagai titik awal dari wajah segar Indonesia.
Sementara hari ini? Masih relevankah mahasiswa melukis peradaban dengan model yang sama? Bernostalgia dengan puncak kegeraman atas pemerintah kala itu. Bisa jadi, iya. Lebih tepat, tidak. Hari ini berbeda dengan hari kemarin. 1998 adalah sejarah perjuangan dan pergulatan reformasi. 1998 memang puncak dari gerakan ‘melawan’ orde baru. Kini, orde baru telah usai dan digantikan dengan sebuah pemerintahan dan sistem demokrasi yang memungkinkan aspirasi disampaikan dengan sangat mudah. Sudah saatnya, para generasi baru aktivis tidak lagi menjadikan 1998 sebagai punggung yang harus selalu di ikuti. Mulai untuk bertransformasi dan beradaptasi terhadap tantangan baru Indonesia. Dan menjadi konsekuensi logis bagi para aktivis mahasiswa dan pemuda untuk mereposisi dan menentukan kembali puncak baru dari aktivisme mereka.
Terdapat banyak perubahan yang signifikan atas apa yang telah dilahirkan reformasi. Tata pemerintahan dan hubungan antara pemerintah dengan publik telah membawa Indonesia pada warna yang berbeda. Globalisasi telah mengubah cara publik berinteraksi dan berkomunikasi. Demokrasi telah memperkuat setiap individu untuk memiliki kemampuan beraspirasi. Tak pandang bulu, siapapun berhak untuk menyuarakan setiap kegelisahannya dalam bentuk apapun. Indonesia telah berubah. Lantas, tidakkah aktivisme mahasiswa dan pemuda berubah?
Hukum alam mengajarkan bahwa setiap perubahan besar selalu di awali dengan konflik. Ketika terjadi kesenjangan antara das sein dan das sollen, di sanalah ruang untuk mahasiswa menajamkan pikiran dan mencerdaskan akalnya untuk mencari sebuah solusi perbaikan. Analisis sosial, pengkajian yang mendalam dan pemetaan masalah yang terjadi di negeri ini perlu dilakukan. Sudah saatnya, para mahasiswa dan pemuda melakukan aktualisasi aktivisme yang bersifat konstruktif dan mendorong pembangunan. Setidaknya, terdapat 3 unsur penting yang paling melekat dalam tubuh Indonesia yang bisa dikerjakan mahasiswa untuk melukis peradaban negeri ini, antara lain:
1. Penggerak sosial di ranah lokal
Pemuda dan mahasiswa melek kondisi. Saat ini, Indonesia memberlakukan kebijakan desentralisasi. Tantangan pembangunan bisa melebar dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa. Di sinilah ruang mahasiswa untuk andil, berkonstribusi memberikan sedikit waktu berserta seluruh jiwanya untuk intervensi langsung terhadap masyarakat lokal. Menjadi sosok penggerak sosial yang bisa membangkitkan semangat pemuda ddan warga desa. Menjadi virus kebaikan yang paling menular sejagat raya.
2. Petarung di ranah global
Saat ini, dunia semakin kompleks. Globalisasi membuahkan efek serba serbi di setiap sendi kehidupan. Perdagangan dan dinamika geopolitik dunia menuntut mahasiswa dan pemuda tidak hanya bertapa di dalam negera. Mereka—kita, harus memiliki tsaqofah keilmuan yang luas (dengan basis ideologi yang mengakar, tentunya) dan siap untuk berdiaspora mengisi ruang konsolidasi peradaban di luar negeri.
3. Pribadi inspirasional
Seperti yang disebutkan di atas, hari ini Indonesia masih mengalami krisis keteladanan. Hal itu seharusnya menjadi momok dan problematika akut di negeri ini. Perlu untuk segera diberantas dan dicari solusinya. Lagi, mahasiswa dan pemuda harus menjawabnya. Menjadi aura sejuk dan angin segar yang membawa negeri pada harapan yang baru. Sosok inspiratif yang mampu menghipnotis setiap individu untuk sama-sama bergerak melakukan perbaikan.
Puncak yang didaki bisa jadi memang masih banyak kemungkinannya, tetapi yang saya pahami adalah mahasiswa dan pelajar perlu mengubah cara berpikir, perilaku organisasi, dan juga metode pengemasan aktivitas. Indonesia hari ini, sudah beda dengan Indonesia 15 tahun silam. Kita telah hidup pada zaman yang menuntut diri ini mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang dinamis. Bila Indonesia mampu mereformasi politik dan tata pemerintahannya. Seharusnya mahasiswa dan pemadu juga mampu merevolusi pemikirannya.
Mahasiswa dan pemuda hakekatnya bisa masuk ke semua lini kehidupan bernegara, mereka berperan sebagai dinamo perubahan. Prinsipnya, meningkatkan kapasitas diri agar pantas jadi solusi atas tantangan bangsa. Masalah itu terus berkembang, semakin kompleks, semakin menantang. Maka kita perlu untuk selalu tumbuh dan berkembang, semakin matang dan bijak hadapi masalah. Bukankah intan itu jadi berkilau setelah ditempa dan dipanaskan? Begitu juga kapasitas manusia, tingkatkan kualitas diri. Tidak hanya mahasiswa yang berjiba ku dengan diktat kuliah, lantas pula ke kostan dan tidak kenal siapa kanan kiri rumah—tetangga. Negeri ini sudah cukup banyak orang cerdas tapi tidak bermoral. Kita butuh pemuda berkarakter dan punya narasi kebangsaan. Benar, knowledge is power but character is more.
Hidup di dunia hanya sekali, jangan sampai kita menyia-nyiakan kehadiran kita. Hidup percuma tiada manfaat. Padahal, satu persatu tantangan negeri ini perlu diurai dengan cinta dan perjuangan. Hari ini, bukan lagi zaman anak muda berpikiran kosong, tak punya visi, tak punya nyali. Kita adalah pelukis peradaban negeri ini, banyak yang harus dilakukan. “Mulai dari akhir”, seorang Presiden cerdas yang dimiliki Indonesia memberi nasihat demikian, Habibie. Akhir itu adalah tujuan dan misi hidup kita. Lantas, kita buat tahap demi tahap yang detail. Tangga perjuangan demi perbaikan diri dan Negeri.
Dengan cara apa kita berkiprah dan menebar kebermanfaatan di Negeri ini? Semua ada di tangan kita. Tentukan peran itu dari sekarang. Aktivis, akademisi, pengusaha, penguasa, itu pilihan. Tapi, lakukan semua dalam konteks berbakti dan mengabdi pada negeri. Tentu, apapun profesi kita kelak, semua harus didasari dengan ilmu yang mumpuni. Seorang guru pernah mengatakan bahwa jangan pernah diberi ilmu serorang murid, jika dia belum memiliki sesuatu dalam dirinya. Sesuatu itu adalah adab. Adab yang akan mengantarkan seseorang pada sikap bijak dalam menempatkan sesuatu. Maka adalah sah, ketika adab berbuah keadilan.
Al-Attas menyebutkan bahwa keroposnya sebuah negeri bukan karena hukum, ekonomi, sosial, melainkan loss of adab. Tentu, seorang beradab dan berilmu akan lebih baik. Mereka akan nyata melakukan semua semata-mata untuk mencari ridho Allah. Setiap kita memiliki potensi dan alur berpikir, selaraskan akal dengan nafs (jiwa) dan hati (qolb). Perbaikan dalam Negeri akan mengikuti seiring pribadi yang cerdas. Maka, tunggu apalagi. Jadilah, pelukis peradaban Negeri ini, Indonesia.
sumber: http://www.beastudiindonesia.net/negarawan-muda-indonesia-pelukis-peradaban-negeri-3/
sumber: http://www.beastudiindonesia.net/negarawan-muda-indonesia-pelukis-peradaban-negeri-3/