Oleh: Kiki, ITB
AKU tak pernah membayangkan dapat bersekolah hingga perguruan tinggi. Rasanya sangat jauh dari nalar. Jika pun terjadi pasti itu sebuah keajaiban besar yang hampir menyamai mukjizat. Keadaan keluarga dan lingkungan begitu kuat membentuk pola pikir seperti itu. Hidup penuh kesederhananaan dan tidak bermuluk-muluk untuk bersekolah tinggi seakan sudah cukup. Bagi kami, bisa bersekolah sampai Sekolah Menengah Atas sudah dapat dikatakan bagus.
Dalam riwayat pendidikan di keluarga, sejak kakek buyut hingga orang tua, sekolah masih tergolong barang mahal. Dan mungkin karena seakan sudah menjadi biasa, tidak melanjutkan sekolah adalah hal lumrah. Ibuku dulu bercita-cita ingin terus bersekolah hingga menjadi seorang guru agama, tetapi dengan situasi sulit dan terbelit keterbatasan finansial ini membuatnya tak berdaya.
Beliau melepaskan cita-citanya terbang ke langit entah sampai kapan bisa digapainya lagi. “Sayang, dulu pendidikan itu sulit, bahkan anak-anak kebanyakan justru langsung membantu orangtuanya mencari uang, termasuk ibu. Kamu tidak boleh seperti ibu dan ayahmu ini. Kamu sebisa mungkin harus terus sekolah,” lanjutnya berharap.
Ayahku bahkan sama sekali tidak pernah menerima ijazah sekolah dasar berbubuhkan cap tiga jarinya. Bukan tidak diambil, tetapi memang karena putus sekolah sebelum beliau tamat sekolah dasar. Menurut ayahku, dulu tak butuh pendidikan tinggi untuk bekerja. Cukup punya keahlian maka pekerjaan bisa didapat. Maka dari itu, pendidikan seakan tidak laku. Akan tetapi, itu dulu.
Bekerja setelah lulus sekolah dasar atau bahkan saat bersekolah hingga akhirnya putus sekolah pun menjadi pilihan. Sedangkan orangtuaku tak berharap aku memilih di antara keduanya. Kedua orangtuaku ingin aku menjadi lebih baik khususnya dalam mengenyam bangku pendidikan. Keduanya ingin aku sukses dan mempunyai keahlian untuk memperbaiki kehidupan. Namun, saat itu pikiran polosku tak begitu terdorong oleh apa yang ayah dan ibuku harapkan.
Hingga pada suatu ketika, aku berpikir. Jika aku tidak boleh seperti ibu dan ayahku, lalu apa yang harus aku lakukan? Situasi yang ada bahkan tidak jauh berbeda, tetap saja faktor ekonomi menjadi faktor yang menghambat. Saya mulai berpikir. Lulusan Madrasah Ibtidaiyyah sepertiku ini apakah bisa sukses? Bahkan melanjutkan sekolah pasca SD dan SMP pun tetap dengan sedapatnya yang penting murah atau bahkan gratis. Apakah bisa? Pertanyaan itu terus muncul berulang-ulang.
Beruntunglah aku diberikan anugerah Allah untuk terus bersekolah selepas lulus SMP. Bukan SMA Negeri kebanyakan yang orang impikan, tetapi di SMA swasta yang menurutku tidak kalah kualitasnya. Taqwa, Cerdas, Kreatif, to be the finest school in the world, begitulah tagline yayasan sekolahku yang membuat aku yakin dan percaya diri dengan pilihan SMA-ku.
Tidak peduli walau harus selalu menjadi penginjak bumi sejati, yang penting aku tetap bersekolah. Kuberharap setiap langkah kaki yang diiringi tetes keringat ini akan menjadi penggembur tanah kesuksesanku kelak. Asalkan aku bisa tetap istiqomah untuk mewujudkan harapan kedua orang tuaku. Aku juga sadar bahwa sekolah itu tak hanya membutuhkan semangat, tetapi juga ada keperluan yang memang harus aku penuhi. Aku malu jika harus selalu meminta kepada orang tuaku. Orang tuaku tak sekali berucap seperti ini: “Kami sebagai orangtua hanya bisa mendoakan serta mendukung. Urusan pemenuhan kebutuhan insyaAllah selalu kami usahakan. Tidak ada yang percuma pemberian orangtua kepada anaknya bahkan jika harus bekerja sekeras apapun. Selebihnya diserahkan saja kepada Allah.”
Ya Allah, mendengar perkataan itu aku menjadi malu jika terus menggantungkan kepada orang tua. Malu karena hanya mereka saja yang berjuang, tetapi aku yang diperjuangkan justru malah seakan tak ada usaha. Kini porsi berpikir pun harus kubagi menjadi dua bagian. Bagaimana aku harus tetap tekun dan semangat belajar, tetapi juga berusaha mendapatkan tambahan pemasukan guna mencukupi kebutuhanku. Pemikiran ini memang keras menghujam apalagi saat aku berstatus pelajar di SMA swasta Bandung, almamaterku tercinta, SMA Alfa Centauri.
Sayangnya, dengan statusku sebagai pelajar ini tak banyak yang bisa kulakukan untuk mendapatkan penghasilan. Jika harus bekerja maka pekerjaan apa yang cocok supaya tidak menggangu porsi belajar dan waktu bermainku. Kugaris bawahi bahwa bermain itu juga harus ada porsi waktunya tidak hanya belajar melulu. Namun, harus berimbang, tentunya, agar kita terdidik cerdas dalam segala hal tak hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun jaringan dan pengalaman.
Lalu, bagaimana menghadapi situasi yang seakan paradoks dengan pembagian porsi berpikirku tadi? Aku terjebak dalam kebingungan sampai akhirnya, alhamdulillaah, aku menemukan suatu ide. Tidak masalah jika aku tidak mendapatkan penghasilan, asalkan setidaknya aku bisa ikut meringankan beban orangtua. Karena dekat, beberapa kali aku ikut membantu ayah bekerja dengan waktu luang yang ada. Saat itu, ayahku bekerja di bengkel bubut. Terkadang aku ikut membantunya di bengkel, tetapi kadang pula aku membawa pekerjaannya ke rumah agar biasa sambil belajar.
Mungkin sangat kecil apa yang kulakukan ini, tetapi setidaknya aku ikut mencampurkan sedikit keringatku untuk ditukar menjadi rupiah yang dipakai untuk ongkos dan keperluan sekolahku. Kuberharap itu, sedikitnya, bisa membantu mengurangi cucuran keringat kedua orangtuaku walau setetes. Sebelumnya aku pernah berjualan gelembung sabun mainan anak-anak, tetapi kepadatan aktivitas sekolahku rasanya itu tidak mendukung. Maka dari itu, membantu orang tua menjadi pilihanku. Syukurlah semuanya bisa berjalan tanpa menghambat aktivitasku dalam mendulang ilmu.
Perlahan waktu berlalu, aku terus berpikir. Jika aku masih bersantai-santai, maka kesempatan emas ini akan menjadi arang hitam yang rapuh dan terinjak. Betapa tidak, tak banyak di kalangan keluargaku yang bisa melanjutkan pendidikan formal hingga sejauh ini. Aku harus memanfaatkan kesempatan besar ini.
Lingkungan baruku di SMA adalah cerita lain dalam episode hidupku. Kusebut baru karena sekian lama aku bersekolah di kampung yang jauh dari suara bising kendaraan jalan raya, justru kini setiap hari aku hidup di sekitarnya. Kemudian, teman-teman baru dengan kemampuannya yang hebat dan berbagai skill membuatku minder. Ini membuatku sedikit tak berkembang di awal. Namun, kejadian itu tak berlangsung lama, aku berpikir bahwa walau bagaimana pun aku harus bisa beradaptasi. Bagaimana aku bisa berkembang jika dengan lingkungan tempatku berada saja aku kalah.
Lagi-lagi aku sangat beruntung. Mayoritas teman SMA tidak pernah mengenal sukses sendirian. Sukses bersama jauh lebih indah, begitu katanya. Aku yang gaptek mulai mereka ajarkan dengan perlahan tentang teknologi. Senangnya saat bisa bercengkrama dengan komputer. Aku dicekoki dengan suguhan baru yang bernama Seleksi Masuk Perguruan Tinggi dengan segala macam jenisnya, ada SPMB, USM, dan lain-lainnya. Makanan baru jenis apa itu?
Aku jadi malu karena tidak gaul dengan semua hal itu. Aku pun mulai mencari tahu informasi. Gelagat ketidaktahuanku tak bisa kusembunyikan. Akhirnya, kucari tahu saja dengan bertanya langsung tentang apapun kepada teman dan guru. Kutebas semua onggokan rasa malu itu.
Mereka begitu semangat memberikan informasi. Hingga akhirnya, kumulai sadar bahwa keberadaanku di sini bersama teman-teman dan keluarga besar civitas SMA Alfa Centauri ini adalah dalam rangka penjerumusan diri ke lembah baru. Orang menyebutnya sukses. Dan kuliah adalah salah satu pintu masuknya. Tidak tanggung-tanggung aku disodorkan salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi dan impian kebanyakan orang berkuliah, katanya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Kaget? Ya, pasti. Wong deso yang baru menjajal kota, mana bisa masuk kampus bonafit. Bisa bertahan sekolah aja beruntung.
Akan tetapi, kerapnya informasi dan motivasi yang diberikan perlahan membuatku percaya diri. Namun, optimism itu mulai luntur jika mengingat keadaan ekonomi keluarga yang serba terbatas. “Kuliah, dari Hong Kong?” begitu aku membatin. Aku mulai merasa aneh dan menganggap keinginan kuliah di ITB itu mustahil. Bagaimana ceritanya bisa menjadi penghuni kampus seelit itu. Sudah masuknya susah, mahal lagi. “Sudahlah jangan banyak berharap,” begitu gumamku.
Akan tetapi, ternyata respon orang tua di luar dugaanku. Mereka tak sedikitpun menampakkan wajah bermain-main dalam menanggapi, melainkan wajah cerah dan yakin yang memacuku untuk benar-benar mewujudkan obsesi besar itu. “Kami selalu mendukung apa yang menjadi cita-citamu. Dari sisi ekonomi mungkin kami tidak bisa sepenuhnya mendukung, tetapi ikhtiar itu akan selalu dilakukan asalkan kamu juga mau berusaha,” kata mereka.
Luar biasa, ini adalah penyulut pertama bara semangatku. Keluarga memang supporter terbaik dan paling setia di saat aku bertanding dalam arena apapun bahkan ketika harapanku untuk menang pun sangat kecil. Waktu terus berjalan. Aku seakan tak rela jika setiap butiran jam pasir yang jatuh itu tak ada maknanya. Pun teman-temanku. Semuanya berjuang dan saling menyemangati satu sama lain. Hampir setengah hariku lebih kuhabiskan bersama teman-temanku untuk belajar dan bermain di sekolah. Kuberharap lingkungan ini dapat menjaga mimpi dan semangatku.
Tak sedikit yang menyebutku orang yang tumbuh besar di sekolah. Tak aneh, aku pergi saat pagi buta dan pulang saat hari menjelang senja. Tak mengapa bagiku, yang penting aku masih punya waktu dengan keluargaku. Mungkin ada yang sedikit terdengar, “Wah, sekolahnya luar biasa, melebihi jam kerja.”
Karena aku menganggap sekolah tidak hanya sekadar formalitas belaka melainkan sebuah kesenangan diri maka kuanggap semua itu hanya angin lalu. Lalu, justru ini akan kujadikan batu loncatan bahwa aku harus bisa membuktikan hasil perjuanganku ini. Perjuangan yang tak hanya sebatas fatamorgana di tengah terik matahari belaka.
Tidak terasa waktu terus berlalu, hingga masa di SMA bakal berakhir. Ini semakin membuatku dan teman-teman gencar berjuang. Terkadang aku belajar bersama hingga harus menginap di sekolah atau rumah teman, tetapi ini menjadi biasa karena rasa senang menuju kesuksesan yang membayang di depan mata. Seleksi Masuk Perguruan Tinggi sudah bukan barang baru lagi di telingaku. Aku sudah siap. Serangkaian try out, psikotes, dan lain-lainnya sudah kujalani.
Namun, saat sudah semuanya siap, pertanyaan klasik justru muncul kembali. Pertanyaan klasik seputar biaya ini agaknya menggangguku justru pada detik-detik saat kumulai siap berkuliah. Akan tetapi, memang benar, jangankan uang untuk kuliah, untuk membeli formulir seleksinya pun aku belum punya. Tambah lagi, ujian yang akan kuambil adalah Ujian Saringan Masuk (USM) ITB Terpusat yang harga formulirnya saja Rp 850ribu. Bayangkan berapa biaya kuliah yang harus disediakan. Mahal!
Dari mana uang sebanyak itu? Belum tentu masuk saja sudah harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Pantas saja banyak yang tak mau melanjutkan kuliah. Tahu biaya yang harus dikeluarkan sebegitu besarnya saja bisa langsung membuat orang takut kuliah sejak awal. Terlebih untuk golongan dhuafa sepertiku ini. Jika tidak bermodal mimpi dan tekad yang kuat memang agak sulit.
Kuulangi, dari mana uang sebanyak itu? Saking kagetnya terus saja pertanyaan itu berulang dalam benakku. Super kaget lagi saat kuceritakan pada kedua orang tuaku serta keluarga yang lain. Semuanya bengong dan bingung. Rasanya ingin kuurungkan saja niatku untuk mengambil jalur seleksi ini. Tidak apa bagiku kehilangan peluang besar lewat jalur khusus terakhir ini. Mungkin nanti saja aku mengikuti jalur umum secara nasional yang formulirnya setidaknya jauh lebih murah dan bisa kutabung sedikit demi sedikit. Namun, di tengah kebingungannya lagi-lagi orangtuaku meyakinkanku, “Akan kami usahakan.”
Ini justru yang membuatku lebih kaget lagi. Ya Allah, padahal aku bisa melihat ini begitu berat bagi keduanya, tetapi perjuangan kedua orangtua untuk anaknya ini memang luar biasa dan tak bisa dibantahkan. Aku malu jika aku menyerah begitu saja.
Kembali aku menggali informasi. Dan akhirnya keajaiban itu muncul bak oasis di padang pasir. Subhanallaah, aku mendapat informasi bahwa untuk keluarga dengan ekonomi kurang mampu bisa mendapat formulir gratis dan juga berkesempatan mengikuti program beasiswa kuliah selama empat tahun jika lolos seleksi. Inilah saatnya mengerahkan kekuatan untuk memperjuangkan kesempatan yang ada di depan mata.
Kemudian, coba kutemui langsung kedua orangtuaku untuk menceritakan kabar ini, tetapi ayahku berucap terlebih dahulu. “Punten, Ki. Bapak tidak mendapat pinjaman dari mana pun untuk uang sebanyak itu. Jadi sekarang pun masih bingung, tetapi akan tetap diusahakan.”
Aku tak tega melihat seorang ayah yang gagah perkasa seakan menjadi tak berdaya karena lelahnya berjuang untuk memenuhi obsesi anaknya. Maka dari itu, tak berpanjang waktu aku kusampaikan saja berita bahagia itu. Sontak saja, wajah keduanya merona berubah bahagia. Aku sangat senang melihat keduanya kembali tersenyum. Suasana harupun tak terbendung.
Meskipun belum pasti aku akan mendapat kesempatan besar itu, tetapi aku mulai memperjuangkan semuanya. Ayahku begitu semangat mengurusi semua persyaratan yang kuceritakan. Satu hal dibenakku, aku akan mendapatkan formulir gratis kemudian lolos seleksi dan kuliah dengan gratis pula. Ya Allah, apakah mimpi ini akan menjadi kenyataan? Semoga Engkau menghendaki. Amin.
Perjuangan dan ikhtiar yang maksimal serta doa yang kuat secara istiqomah memang tidak akan sia-sia. Allah Maha Adil dan memberikan hasil sesuai dengan apa yang makhluk-Nya usahakan. This is miracle! Aku berhasil terdaftar sebagai peserta seleksi dengan biaya formulir nol rupiah dan masuk kriteria calon mahasiswa penerima beasiswa kuliah gratis selama empat tahun. Alhamdulillaah.
Singkat cerita, waktu yang dinantipun tiba, USM ITB Terpusat tinggal sehari lagi. Kusiapkan segala sesuatunya baik fisik maupun mental juga semua atribut kepesertaan. Tak lupa aku berdoa kepada Allah serta memohon doa kepada seluruh keluarga besar khususnya orangtua juga seluruh teman dan keluargaku di SMA Alfa Centauri.
Tak pernah terbayang peserta USM itu sebanyak ini. Rasanya kecil sekali peluang untuk lolos, tetapi semuanya kuserahkan kepada-Nya yang penting aku berusaha yang terbaik. Satu hal yang sedikit norak, meski aku orang Bandung asli, luasnya kampus ITB ini menjadikanku semakin kaget dan seakan menciutkan ke-pede-anku sebelumnya. Harap maklum saja, aku tahu ITB saja saat masuk SMA.
Akhirnya, ujian seleksi pun berakhir tinggal menunggu waktu pengumuman. Sejurus kemudian, tak terasa waktu pengumuman pun tiba, tetapi bukan pengumuman USM melainkan pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) dan puji syukur kehadirat Allah aku dan semua teman-temanku lulus. Pintu gerbang pertama sudah mulai terbuka tinggal satu lagi. Sembari menunggu pengumuman USM, aku juga sibuk mencari beasiswa untuk biaya hidup kuliahku nanti jikalau lolos seleksi dan menjadi mahasiswa ITB.
Suatu waktu, tiba-tiba berita menggembirakan datang dari guru bimbingan konselingku, Ibu Sindra namanya, tetapi kuterbiasa memanggilnya teh Eneng. Beliau mengabarkan bahwa aku berpeluang besar mendapat beasiswa. Kemudian, tak lama kemudian aku dipanggil bersama temanku yang lain ke ruangannya. Bibirku menyeringai tak bisa menahan rasa senang yang sedang menyelimuti. Namun, rona cerah wajah saat itu tak berlangsung lama. Semuanya berubah saat teh Eneng berkata: “Oh, maaf ternyata kamu tidak bisa ikut beasiswa ini, Ki karena kamu tinggal di kabupaten.”
Mendengar itu, aku sangat kecewa. “Apa bedanya kabupaten dan kota?” pikirku tak terima. Ada perasaan cemburu mungkin karena temanku yang lain menerima beasiswa dari lembaga independen itu. Aku tidak bisa memaksa. Rejekiku memang bukan di situ. Aku mencoba menghibur dan menenangkan diri. Lalu, aku yakinkan bahwa Allah adalah Yang Maha Menentukan apa yang terbaik bagi hamba-Nya dan rejeki itu jelas tak akan tertukar, haqqul yakin.
Kemudian, beberapa kabar beasiswa terus masuk ke telingaku, tetapi tak ada yang jelas sehingga rasanya malas untuk memenuhi persyaratannya. Hingga akhirnya, datang seorang alumni dari SMA-ku membawa berita cukup menggembirakan bahwa dia adalah salah satu dari penerima beasiswa mahasiswa dari sebuah lembaga zakat Dompet Dhuafa bernama Beastudi Etos.
Kabar dari alumni SMA-ku, teh Mira -yang merupakan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) penerima Beastudi Etos wilayah Bogor- ini seakan membawa angin segar di tengah teriknya matahari di musim panas. Beliau mengabarkan bahwa saat itu Beastudi Etos sedang mengadakan seleksi penerimaan. Awalnya aku tidak tertarik karena mana mungkin saya yang di Bandung menerima beasiswa yang asramanya di Bogor. Ternyata, Beastudi Etos juga ada di Bandung untuk mengakomodasi mahasiswa ITB dan UNPAD.
Ini adalah peluang besar. Apalagi jika melihat berbagai fasilitas yang ditawarkan begitu menarik, terutama fasilitas uang saku per bulannya, di samping fasilitas tambahan lainnya seperti tinggal di asrama dan mendapat fasilitas pembinaan. Tak banyak membuang waktu, aku siapkan semua persyaratan administrasinya lalu kukirimkan langsung ke asramanya. Tidak ada yang spesial memang dalam perjuanganku melamar Beastudi Etos ini kecuali pengorbanan tidak jajan hingga semua persyaratan administrasi terpenuhi.
Alhamdulillaah, akhirnya aku lolos seleksi administrasi dan maju ke tahap seleksi tulis dan wawancara. Dari situ aku menunggu pengumuman lolos tidaknya untuk ke seleksi home visit, tetapi lama berselang belum juga ada kabar, sedangkan temanku yang lain sudah mendapat infonya. Akhirnya aku pasrah, memang mungkin Allah belum menghendaki aku lolos untuk beasiswa ini.
Di tengah penantian kabar Beastudi Etos, kabar pengumuman USM ITB Terpusat justru semakin dekat. Hingga sampai pada Jumat malam, 12 Juni 2009 tibalah waktu yang sangat menegangkan, pengumuman kelolosan seleksi USM ITB Terpusat 2009. Beginilah singkat krologis ceritanya.
Kala itu aku bergegas dari rumah menuju warnet (warung internet) yang letaknya hampir satu kilometer dari rumahku. Saat itu memang di kampungku belum ada fasilitas untuk akses internet hingga warnet terdekat hanya ada di daerah sebelah kampungku yang dekat ke jalan raya. itu pun jika sedang buka. Namun, tak peduli dengan kemungkinan terburuk kutempuh saja dengan berjalan kaki. Sejujurnya, jika bukan karena ingin melihat hasil pengumuman seleksi USM ITB, aku tak pernah mau pergi ke warnet.
Sembari ditemani temaram cahaya bulan, aku berjalan penuh harap juga cemas, bertabuh debaran jantung yang begitu kencang. Ditemani adikku yang sengaja waktu itu kuajak, sepanjang perjalanan sepi tak ada obrolan. Akhirnya sampai di warnet. Namun, karena penuh aku harus sabar menunggu. Kemudian, saat itu pula temanku mengirimku pesan singkat bahwa di sekolah juga sedang ada pengecekan hasil USM ITB Terpusat bersama-sama. Aku diminta nomor peserta serta sandinya untuk mengeceknya dan temanku akan mengabarkan setelahnya. Namun, aku tidak mau karena aku ingin mengeceknya sendiri.
Tiba giliranku berselancar di dunia maya. Kubuka situs yang dimaksud, tetapi ternyata files not found. Aku semakin tegang. Dalam benakku berprasangka baik, “Ini mungkin karena situsnya sedang banyak yang mengakses.” Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya situsnya bisa terbuka. Tak banyak membuang waktu kuketik nomor peserta dan kata sandiku di kolom yang tersedia, lalu enter. “Selamat Anda Diterima di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.”
Aku terdiam tak percaya dengan apa yang ada di layar monitor saat itu. Aku takut ini sedang terjadi kesalahan dan sebagainya. Aku keluar dari situs itu, lalu mengulangnya. Yang terlihat tetap tulisan itu. Tak kuasa lagi dengan luapan rasa bahagia yang ada. Bibirku menyeringai dengan air mata tak terbendung. “Ya Allah, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jika sudah menjadi keputusanmu maka tak ada yang tak mungkin sama sekali. Alhamdulillaah ya Allah.”
Adikku yang menjadi korban pelampiasan kebahagiaanku. Tak henti-hentinya kucubit pipinya yang gembul itu sambil seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ternyata tidak percuma kuajak adikku. Tidak sabar rasanya ingin memberikan kabar bahagia ini kepada ibu dan ayahku. Aku pulang dengan berjalan cepat. Sudah hampir dekat rumah, di seberang jalan terlihat kakak ayahku, kumemanggilnya uwa, kukabarkan saja langsung padanya. Mendengar apa yang kukatakan uwaku tak kuasa membendung tangis haru sembari langsung memelukku.
Hingga akhirnya sampai di bibir pintu rumah, kuberlari menuju ibu dan ayahku kupeluk keduanya sambil menceritakan kabar bahagia yang baru saja menghinggapiku. Semuanya larut dalam haru. Terlebih lagi saat mengetahui bahwa aku masuk dengan status mendapat beasiswa penuh selama empat tahun. Sungguh kemahabesaran-Nya tidak pernah terjangkau nalar manusia yang terbatas.
Bahagia sekali. Ini adalah sejarah baru sepanjang riwayat pendidikan di keluargaku. Kuberhasil membuktikan bahwa bukanlah latar belakang dan kondisi keluarga yang akan memutuskan kita bisa bersekolah atau tidak, tetapi sejauh mana mimpi dan usaha kita. Faktor penting lainnya adalah dukungan keluarga serta doa yang senantiasa menguatkan sisi morilnya sehingga kita berani bermimpi dan melangkah. Dan sejarah baru ini tertoreh juga karena kebersamaan dan kekuatan doa keluarga yang begitu besar. Tak lupa rasa terima kasihku atas peran serta teman-teman seperjuangan dan seluruh keluarga besar SMA Alfa Centauri yang tidak bisa kusebutkan satu per satu. Terima kasih Allah telah menempatkanku di antara mereka semua.
Saat-saat suasana bahagia menyelimutiku, aku mendapat kabar dari temanku yang juga lolos USM ITB bahwa ternyata aku juga lolos seleksi Beastudi Etos untuk maju ke tahap seleksi home visit yang berpeluang besar lolos menjadi Etoser, sebutan untuk penerima Beastudi Etos, karena aku sudah diterima menjadi mahasiswa ITB.
Namaku diumumkan lolos menjadi penerima Beastudi Etos Bandung di tengah belum berakhirnya kebahagiaan saat aku diterima menjadi mahasiswa Fakultas Teknologi Indutri ITB. Ya Allah, ini rasanya seperti mimpi saja. Mimpi ini memang kekuatannya luar biasa jika kita imbangi dengan usaha dan doa yang kuat pula. Dengan mengoptimalkan kebersamaan dan perjuangan bersama tentu akan jauh lebih indah karena kita justru semakin banyak yang mendukung, menyemangati, dan mengingatkan.
Memang waktu terasa begitu cepat jika kita menikmati setiap detiknya. Dan hal baru pun kini kurasakan. Kuliah, satu kata yang dulu menjadi idaman apalagi di kampus yang juga dulunya menjadi kampus impian. Bergulat dengan segala heterogenitas yang ada membuatku harus pintar-pintar dalam beradaptasi. Beruntung aku bergabung dengan Beastudi Etos yang dengan pembinaan di dalamnya menjadikan salah satu pengendali diriku untuk tetap dalam koridor kebaikan.
Tidak akan cukup jika harus kuceritakan bagaimana warna-warni kehidupanku sejak saat pertama kali kuliah hingga kini. Semuanya seakan mimpi bahkan beberapa sama sekali tak sempat aku membayangkan bisa terjadi dalam hidupku. Kuliah dengan bantuan Beastudi Etos pun tidak pernah aku bayangkan. Apalagi harus menyebutkan segudang pembinaan dan pengalaman berharga yang kudapat di dalamnya di samping kuliah. Semuanya mendukung pengembangan potensiku bahkan saat aku berada di bawah dan hampir putus asa pun adalah keluarga besar Etos yang luar biasa memberikan semangat untuk bangkit, berkarya, dan memproduktifkan diri.
Satu dari sekian banyak pengalaman spektakuler adalah saat di mana Allah memberikanku kesempatan merasakan bagaimana menjalani kehidupan di negeri orang yaitu Hong Kong. Hal yang tak pernah sama sekali terbayangkan bisa mengunjungi negeri yang pernah disebutkan Rasul, uthlubul ilma walau fits tsiin, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri China.” Tak menyangka bisa mengunjungi negeri yang acapkali dijadikan pengistilahan tak mungkin seperti saat mimpiku berkuliah dulu, “Kuliah dari Hong Kong?”
Bagiku ini jauh di luar batas pemikiranku bahkan bayanganku sebagai anak kampung. Jangankan keluar negeri, naik pesawat saja hanya sebatas mimpi yang mungkin bisa kucapai dengan mendapat undian lotere dan sebagainya. Akan tetapi, lagi-lagi melalui Beastudi Etos dan Dompet Dhuafa ini Allah memberikan nikmat kepadaku. Selama empat puluh hari, tepatnya selama Ramadhan hingga Idul Fitri pada 2012 lalu, di negeri beton sana aku mendapat banyak pelajaran berharga tentang dunia yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Betapa berbeda dengan kondisi di kelas. Bukan lagi teori yang dibutukan, tetapi aksi nyata. Aku bersyukur kepada Allah atas pelajaran berharga yang kudapat di sana yakni barang siapa yang mengaku ingin berpendidikan untuk bekal terjun ke dunia masyarakat serta bertekad kuat untuk memberdayakannya maka ia harus siap dididik dan didadak. Dan aku mengalami itu di sana. Alhamdulillaah.
Namun, sepanjang perjalananku menggapai apa yang kuimpikan dengan semua pengalaman yang ada, sesekali aku berpikir, selama berkuliah ini aku hidup dari beasiswa. Namun, Apa yang sudah kulakukan atas apa yang aku terima ini. Terlebih atas dana zakat yang disalurkan Beastudi Etos kepadaku rasanya berat sekali. Takut tidak amanah dengan dana yang diberikan, takut tidak maksimal dalam kuliah, dan masih dalam ketakutan lainnya. Namun, aku bersyukur, belum lagi ketakutan itu membakar sekujur ragaku. Aku sudah mendapat pencerahan yang justru siap melibas semua ketakutan yang ada.
Semua ilmu dan pengalaman yang kudapat di perkuliahan serta organisasi kampus, juga dengan setumpuk pelatihan akan kujadikan modal untuk menjadi insan yang bermanfaat. Aku akan terus berpegang kuat bahwa sukses bersama jauh lebih indah dibanding mengejar kesuksesan sendiri. “More than excellent” jika tak hanya dapat menyukseskan diri, tetapi juga dapat menyukseskan orang lain.