Banyuwangi - Mengunjungi salah satu desa terpencil di Banyuwangi seperti di Desa Pringgondani, Wongsorejo dan memotret aktivitas para relawan pendidikan serasa memiliki sisi inspiratif unik tertentu. Puluhan relawan yang tergabung dalam program Banyuwangi Mengajar dengan suka cita mau menunjang pendidikan di daerah yang secara geografis jauh dari kota.
Seperti Nur Latifatul Jannah (22), perempuan ini salah satu relawan Banyuwangi Mengajar yang mengabdi untuk memajukan pendidikan yang dimulai dari pinggiran desa. Sebuah gerakan yang mengajak lulusan perguruan tinggi untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak pedesaan. Meski fasilitas terbatas, justru jadi tantangan tersendiri bagi para pengajar muda untuk bisa mengamalkan ilmunya di daerah terpencil.
"Tinggal di Desa Pringgondani sini itu asyik. Kita benar-benar harus bisa apa saja. Dan justru keterbatasam ini menuntut ruang otak kami lebih kreatif menyiasati keterbatasan itu. Kami kreatif menjalankan proses belajar-mengajar," kata Nur Latifatul Jannah, Kamis (25/2/206).
Perempuan berjilbab yang akrab disapa Latifah itu terpilih sebagai relawan lantaran dia salah satu lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember asal Banyuwangi yang aktif menerima beasiswa Banyuwangi Cerdas, program beasiswa yang membiayai anak-anak muda untuk berkuliah.
Dan karena prestasi serta nilai akademisnya yang tinggi, Pemkab Banyuwangi mengapresiasi kegigihannya untuk bergabung dalam program Banyuwangi Mengajar sejak 2014. Latifah kini ditempatkan di SDN 3 Watukebo, sebuah sekolah di pelosok wilayah Perkebunan Pasewaran, Wongsorejo Banyuwangi.
Menurutnya, mengajar di daerah pelosok memaksa dirinya untuk bisa menemukan cara mengajar yang efektif namun dengan cara yang simple. Salah satunya menentukan metode belajarnya sendiri. Latifah pun mulai mengenalkan anak-anak belajar di luar kelas untuk belajar di alam terbuka.
"Fasilitas yang seadanya ini malah sering saya ajak murid-murid belajar outdoor. Mereka lebih senang, karena sistemnya bermain dan belajar yang tidak identik di dalam ruangan. Dengan cara ini rupanya mereka juga lebih mudah menangkap pembelajaran seperti ini," ujar wisudawan terbaik IAIN Jember 2015 dengan IPK 3,98 ini.
Latifah bercerita, sehari-hari aktivitasnya dihabiskan berinteraksi bersama anak didiknya. Jika pagi ia mengajar di sekolah, sore hari Latifah mengajar mengaji di musholla setempat. Lalu malam harinya, Latifah manfaatkan untuk memberikan bimbingan belajar bagi siswa-siswa lainnya. Selama bertugas menjadi relawan, perempuan berkaca mata ini juga diberi fasilitas rumah dinas. Tapi salutnya fasilitas tersebut ia kesampingkan dan memilih tinggal dirumah warga.
"Saya lebih milih tinggal dengan warga, supaya lebih dekat dan interaksi dengan anak-anak tidak ada jarak. Malah lebih nyaman," tandasnya.
Para relawan pengajar ini setiap bulannya oleh Pemkab Banyuwangi diberikan insentif senilai Rp 2 juta. Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menambahkan, ini merupakan salah satu solusi Pemkab di tengah kurangnya tenaga pengajar di Banyuwangi. Pemkab Banyuwangi mengundang anak muda yang memiliki semangat serta idealisme tinggi untuk menularkan ilmunya kepada sesama. Dan tahun ini Pemkab akan merekrut lagi 20 orang lulusan terbaik secara terbuka.
"Jadi anak-anak yang berprestasi dapat beasiswa di program Banyuwangi Cerdas diseleksi ikut program Banyuwangi. Ini pengabdian bagi mereka para relawan dan pasti merupakan pengalaman berharga bagi mereka," ujar Bupati Anas.
(fat/fat)