Ilustrasi gambar via noerfaz.wordpress.com |
Lulus 3,5 tahun, Sudah siap kah?
Tulisan oleh : Arrifah Ratna Dewi
Lulus tepat waktu adalah dambaan semua mahasiswa. Bagaimana tidak, setiap bertemu dengan orang tua, keluarga besar dan orang sekitar entah yang benar-benar mendo’akan atau mungkin mereka sedang bingung ingin membuka topik pembicaraan, kata yang paling sering dan mudah terucap adalah “semoga cepat lulus”. Tak peduli dengan yang masih semester awal atau semester akhir, yang mereka tau adalah kita sedang kuliah dan tujuan kita kuliah adalah untuk lulus lalu mencari pekerjaan.
Bagaimana dengan lulus 3,5 tahun? Nampaknya ini menjadi kegelisahan yang sangat merumitkan bagi mahasiswa tingkat akhir. Sudah lelah menempuh bangku kuliah, alasan ekonomi, ingin cepat menikah atau bahkan hanya untuk sekedar eksistensi. Yang pasti para pengejar 3,5 ini mempunyai alasan masing-masing. Namun yang dipertanyakan adalah, sudah siap kah?
Apa Kontribusimu?
Sebagian mahasiswa atau bahkan kebanyakan mahasiswa dengan bangganya mengaku kepada dunia, bahwa “saya adalah mahasiswa” yang di gadang-gadangkan sebagai kaum intelektual muda, tapi ternyata di dalam kampus hanya bisa mengkritik dan berkomentar di belakang, tanpa ada aksi dan kontribusi, masihkah pantas disebut mahasiswa? Apa kontribusimu selama ini? 3,5 tahun bukan waktu yang singkat, namun sangatlah disayangkan jika hanya mengambil manfaatnya saja untuk mengambil ilmu dan kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya, dan tidak mengembalikannya kepada fakultas, universitas dan Negri tercinta. 3,5 tahun bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejuta aksi, aktif dalam organisasi, melakukan pengabdian masyarakat, penelitian maupun kewirausahaan. Memberi kontribusi pemikiran dalam kajian-kajian diskusi atau dalam bentuk aksi nyata, baik dalam kegiatan keilmuan, lingkungan, sosial, budaya, seni, keprofesian dan jutaan aksi lainnya. Lalu tuangkan dalam karya melalui essay, karya tulis dan tulisan lain. Sekali lagi, 3,5 tahun bukan waktu yang singkat untuk memberi kontribusi, sudah kah kamu? Jika belum, lalu apa yang kamu lakukan selama 3,5 tahun ini? Dan pertanyaan selanjutnya adalah, lulus 3,5 tahun sudah PANTAS kah?
Prestasi apa yang sudah kamu torehkan?
Jangan mengaku mahasiswa jika kamu biasa-biasa saja. Sungguh sangat disayangkan jika tidak berusaha untuk menorehkan prestasi, lalu apa bedanya dengan yang siswa biasa? Untuk apa menyandang gelar MAHA? Prestasi tidak hanya terbatas dalam bidang akademik, namun juga non akademik. Sehingga tidak ada alasan lagi jika tidak berprestasi, karena kewajiban mahasiswa adalah mengembangkan diri dan meng-upgrade kapasitas diri. Sekali lagi, ini KEWAJIBAN! Lalu apa yang kamu lakukan selama 3,5 tahun ini? Ini kah pertanggung jawabanmu terhadap uang rakyat? Ini kah pertanggung jawabanmu terhadap keringat orang tuamu?
Bekal ilmu dan skill tentu bukan hal yang bisa disepelekan
Mungkin anda sudah sangat bosan mendengar cerita “IP bagus, lulus 3,5 tapi saat interview tidak bisa menjawab pertanyaan, di lapangan pun masih bingung harus gimana”. Begitupun dengan saya juga sangat bosan mendengarnya, masalah klasik yang tak terpecahkan. Inilah moment dimana sebagai mahasiswa di minta pertanggung jawaban atas segala ilmu yang didapat. Disaat itulah, puncak kesadaran bahwa ilmu tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada manusia, kepada orang tua yang sudah bekerja keras, tapi juga kepada Allah atas kesempatan yang sudah diberikan. Waktu 3,5 tahun tentunya lebih singkat dibanding 4 tahun untuk belajar dan mengasah skill. Lantas yang dipertanyakan, sudah cukup kah bekal ilmu dan skill mu untuk bekerja atau studi lanjut?
Linear dengan rencana masa depan
Lulus premature, tetapi jangan sampai segala sesuatunya dipersiapkan dengan “instan”, serba tergesa-gesa, serba dikejar deadline, hingga melupakan untuk merencanakan langkah, atau bahkan melupakan mimpi, melupakan pashion bidang profesi, demi mendapat gelar sarjana 3,5 tahun. Para pejuang 3,5 jangan sampai tergesa-gesa hingga mengesampingkan bidang garapan skripsi agar bisa linear dengan studi S2 dan selanjutnya. KUALITAS. Meskipun tidak ada penghargaan khusus untuk skripsi terbaik, tapi seharusnya skripsi juga harus linear dengan rencana kerja atau studi lanjut.
Persiapan Mental
Lulus dengan waktu yang lebih muda setengah tahun, tentu juga dengan mental yang terbilang lebih muda pula. Belum sempat bernafas lega untuk memenuhi syarat yudisium dan wisuda, para pejuang 3,5 tahun tidak jarang yang kaget dengan dunia kerja atau dunia pasca sarjana. Bukan karena belum siap mental, tapi karena waktu untuk persiapan diri harus direbut dengan kesibukan memenuhi persyaratan dan dokumen-dokumen. Para pejuang 3,5 tahun lagi-lagi harus membagi waktunya untuk persiapan yang lebih.
lulus dengan gelar sarjana= salah satu tiket menuju gerbang pernikahan
Ini bahasan yang cukup berat. Bagi sebagian mahsiswa yang “benar-benar” mempersiapkan “masa depan” nya dengan sangat matang dan mempunyai lampu hijau dari orang tua, dan tentunya punya alasan “ingin cepat menikah” nampaknya punya PR extra untuk mempersiapkan ilmu agama dan mental tentunya. Mengikuti seminar pra-nikah, sekolah parenting di tengah-tengah deadline revisi pun harus dilakukan. Sudah siapkah?
Sudahi semua kegelisahan ini
Dibalik kontroversi yang tiada ujung di kalangan mahasiswa, sebenarnya lulus 3,5 tahun atau 4 tahun adalah sama baiknya. “Baik” jika lulus 3,5 tahun namun disertai Indeks Prestasi yang cemerlang meski tanpa mengulang, skill yang tidak diragukan meski dipelajari hanya dalam 3,5 tahun, segudang prestasi dan kontribusi yang siap digunakan untuk bekal masa depan, disertai dengan mental sekaligus kemampuan leadership yang baik yang didapat dari pengalaman organisasi dan sudah terencana dengan sangat matang. Sudah dipersiapkan untuk lulus 3,5 tahun dan tentunya master plan apa yang akan dilakukan setelah lulus baik untuk bekerja, wirausaha atau melanjutkan studi yang tentunya linear dengan apa yang selama ini digeluti di bangku kuliah. Sehingga para pejuang 3,5 ini kelak jika ditanya “apa ilmunya sudah cukup?”, “apa sudah menguasai skill ini itu?”, “ apa sudah siap mental untuk memasuki dunia kerja?”. Dan dengan bangganya para pejuang 3,5 akan menjawab semua pertanyaan dengan sangat percaya diri, disertai jawaban pamungkas “Waktu bukan menjadi alasan untuk menjadi luar biasa, jika yang lulus 4 tahun pun juga masih banyak yang belum siap, lulus 3,5 tahun mengapa tidak, jika semua sudah dipersiapkan untuk menjadi siap?”
Di sisi lain, lulus 4 tahun pun juga baik. Lantas yang sering dipertanyakan adalah, kenapa harus 4 tahun jika 3,5 tahun pun bisa? Lalu 1 semester 8 saat sudah tidak ada beban mata kuliah, apa yang harus dilakukan di kampus? bagi para pejuang 4 tahun prestatif, tentu tidak kebingungan. Mereka justru memiliki ruang lebih banyak untuk memanfaatkan status “MAHASISWA”nya lebih lama. 1 semester terakhir bisa digunakan untuk menggenjot prestasi, student exchange, kontribusi di organisasi atau menambah skill dengan magang. Para pejuang 4 tahun ini pun bisa lebih fokus untuk mengejar mimpinya dan mempersiapkan diri untuk dunia pasca kampus. Bahkan bisa mempersiapkan research yang out standing yang bisa linear untuk studi S2 dan seterusnya, karena mereka tidak dibatasi waktu dan tidak khawatir jika waktu research tergolong cukup lama.
Lantas yang kurang baik yang seperti apa? Yang kurang baik adalah yang lulus 3,5 tahun dengan tergesa-gesa, yang hanya ingin mengejar kecepatan waktu, tanpa ada kontribusi, prestasi, skill dan ilmu yang masih sangat minim, mental yang belum terlatih dan tidak merencanakan masa depannya karena yang diprioritaskannya hanyalah hasil, yaitu cepat lulus. Sehingga yang terjadi adalah menambah jumlah pengangguran di Indonesia yang saat ini sudah mencapai 7,45 juta orang dengan 8,29% berpendidikan sarjana. Selain itu, fenomena lulus 3,5 tahun karena alasan eksistensi pun sangat marak terjadi, namun hanya sebagian kecil yang menyadarinya. Malu jika tidak lulus bersama dengan kawan seperjuangannya, ingin bisa diwisuda bersama, malu dibanding-bandingkan dengan yang sudah lulus “kakak ini sudah lulus, tapi dia belum” dan berbagai motif lain yang menjadikan alasan lulus 3,5 tahun untuk sekedar eksistensi dan pencitraan di depan manusia. Hal ini terutama terjadi pada fakultas atau jurusan yang memang setiap tahunnya banyak yang bisa lulus 3,5 tahun.
Dan yang kurang baik juga adalah yang lulus 4 tahun atau lebih, namun dengan alasannya yang kurang jelas seperti malas, menunda-nunda, ingin bermain-main dulu dan sebagian waktu kuliahnya di semester 1-7 digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif, sehingga tidak prestatif dan tidak kontributif. Betapa disayangkan waktu yang terbuang sia-sia dan juga biaya yang dikeluarkan orang tua untuk membayar biaya kuliah dan biaya hidup terutama bagi yang merantau.
Terlepas dari perdebatan tiada ujung antara lulus 4 tahun atau 3,5 tahun, waktu lulus adalah sebuah pilihan, yang pasti harus direncanakan dengan matang. Jika lulus 3,5 tahun harus dipersiapkan rencana selanjutnya untuk studi lanjut atau bekerja, sedangkan jika lulus 4 tahun pun juga harus dipersiapkan, apa saja yang akan dilakukan di 1 semester terakhir untuk mengerjakan skripsi sembari melakukan hal-hal yang produktif dan mempersiapkan hal-hal yang belum dipersiapkan. Semangat berjuang para mahsiswa tingkat akhir!
Bagaimana dengan lulus 3,5 tahun? Nampaknya ini menjadi kegelisahan yang sangat merumitkan bagi mahasiswa tingkat akhir. Sudah lelah menempuh bangku kuliah, alasan ekonomi, ingin cepat menikah atau bahkan hanya untuk sekedar eksistensi. Yang pasti para pengejar 3,5 ini mempunyai alasan masing-masing. Namun yang dipertanyakan adalah, sudah siap kah?
Apa Kontribusimu?
Sebagian mahasiswa atau bahkan kebanyakan mahasiswa dengan bangganya mengaku kepada dunia, bahwa “saya adalah mahasiswa” yang di gadang-gadangkan sebagai kaum intelektual muda, tapi ternyata di dalam kampus hanya bisa mengkritik dan berkomentar di belakang, tanpa ada aksi dan kontribusi, masihkah pantas disebut mahasiswa? Apa kontribusimu selama ini? 3,5 tahun bukan waktu yang singkat, namun sangatlah disayangkan jika hanya mengambil manfaatnya saja untuk mengambil ilmu dan kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya, dan tidak mengembalikannya kepada fakultas, universitas dan Negri tercinta. 3,5 tahun bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejuta aksi, aktif dalam organisasi, melakukan pengabdian masyarakat, penelitian maupun kewirausahaan. Memberi kontribusi pemikiran dalam kajian-kajian diskusi atau dalam bentuk aksi nyata, baik dalam kegiatan keilmuan, lingkungan, sosial, budaya, seni, keprofesian dan jutaan aksi lainnya. Lalu tuangkan dalam karya melalui essay, karya tulis dan tulisan lain. Sekali lagi, 3,5 tahun bukan waktu yang singkat untuk memberi kontribusi, sudah kah kamu? Jika belum, lalu apa yang kamu lakukan selama 3,5 tahun ini? Dan pertanyaan selanjutnya adalah, lulus 3,5 tahun sudah PANTAS kah?
Prestasi apa yang sudah kamu torehkan?
Jangan mengaku mahasiswa jika kamu biasa-biasa saja. Sungguh sangat disayangkan jika tidak berusaha untuk menorehkan prestasi, lalu apa bedanya dengan yang siswa biasa? Untuk apa menyandang gelar MAHA? Prestasi tidak hanya terbatas dalam bidang akademik, namun juga non akademik. Sehingga tidak ada alasan lagi jika tidak berprestasi, karena kewajiban mahasiswa adalah mengembangkan diri dan meng-upgrade kapasitas diri. Sekali lagi, ini KEWAJIBAN! Lalu apa yang kamu lakukan selama 3,5 tahun ini? Ini kah pertanggung jawabanmu terhadap uang rakyat? Ini kah pertanggung jawabanmu terhadap keringat orang tuamu?
Bekal ilmu dan skill tentu bukan hal yang bisa disepelekan
Mungkin anda sudah sangat bosan mendengar cerita “IP bagus, lulus 3,5 tapi saat interview tidak bisa menjawab pertanyaan, di lapangan pun masih bingung harus gimana”. Begitupun dengan saya juga sangat bosan mendengarnya, masalah klasik yang tak terpecahkan. Inilah moment dimana sebagai mahasiswa di minta pertanggung jawaban atas segala ilmu yang didapat. Disaat itulah, puncak kesadaran bahwa ilmu tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada manusia, kepada orang tua yang sudah bekerja keras, tapi juga kepada Allah atas kesempatan yang sudah diberikan. Waktu 3,5 tahun tentunya lebih singkat dibanding 4 tahun untuk belajar dan mengasah skill. Lantas yang dipertanyakan, sudah cukup kah bekal ilmu dan skill mu untuk bekerja atau studi lanjut?
Linear dengan rencana masa depan
Lulus premature, tetapi jangan sampai segala sesuatunya dipersiapkan dengan “instan”, serba tergesa-gesa, serba dikejar deadline, hingga melupakan untuk merencanakan langkah, atau bahkan melupakan mimpi, melupakan pashion bidang profesi, demi mendapat gelar sarjana 3,5 tahun. Para pejuang 3,5 jangan sampai tergesa-gesa hingga mengesampingkan bidang garapan skripsi agar bisa linear dengan studi S2 dan selanjutnya. KUALITAS. Meskipun tidak ada penghargaan khusus untuk skripsi terbaik, tapi seharusnya skripsi juga harus linear dengan rencana kerja atau studi lanjut.
Persiapan Mental
Lulus dengan waktu yang lebih muda setengah tahun, tentu juga dengan mental yang terbilang lebih muda pula. Belum sempat bernafas lega untuk memenuhi syarat yudisium dan wisuda, para pejuang 3,5 tahun tidak jarang yang kaget dengan dunia kerja atau dunia pasca sarjana. Bukan karena belum siap mental, tapi karena waktu untuk persiapan diri harus direbut dengan kesibukan memenuhi persyaratan dan dokumen-dokumen. Para pejuang 3,5 tahun lagi-lagi harus membagi waktunya untuk persiapan yang lebih.
lulus dengan gelar sarjana= salah satu tiket menuju gerbang pernikahan
Ini bahasan yang cukup berat. Bagi sebagian mahsiswa yang “benar-benar” mempersiapkan “masa depan” nya dengan sangat matang dan mempunyai lampu hijau dari orang tua, dan tentunya punya alasan “ingin cepat menikah” nampaknya punya PR extra untuk mempersiapkan ilmu agama dan mental tentunya. Mengikuti seminar pra-nikah, sekolah parenting di tengah-tengah deadline revisi pun harus dilakukan. Sudah siapkah?
Sudahi semua kegelisahan ini
Dibalik kontroversi yang tiada ujung di kalangan mahasiswa, sebenarnya lulus 3,5 tahun atau 4 tahun adalah sama baiknya. “Baik” jika lulus 3,5 tahun namun disertai Indeks Prestasi yang cemerlang meski tanpa mengulang, skill yang tidak diragukan meski dipelajari hanya dalam 3,5 tahun, segudang prestasi dan kontribusi yang siap digunakan untuk bekal masa depan, disertai dengan mental sekaligus kemampuan leadership yang baik yang didapat dari pengalaman organisasi dan sudah terencana dengan sangat matang. Sudah dipersiapkan untuk lulus 3,5 tahun dan tentunya master plan apa yang akan dilakukan setelah lulus baik untuk bekerja, wirausaha atau melanjutkan studi yang tentunya linear dengan apa yang selama ini digeluti di bangku kuliah. Sehingga para pejuang 3,5 ini kelak jika ditanya “apa ilmunya sudah cukup?”, “apa sudah menguasai skill ini itu?”, “ apa sudah siap mental untuk memasuki dunia kerja?”. Dan dengan bangganya para pejuang 3,5 akan menjawab semua pertanyaan dengan sangat percaya diri, disertai jawaban pamungkas “Waktu bukan menjadi alasan untuk menjadi luar biasa, jika yang lulus 4 tahun pun juga masih banyak yang belum siap, lulus 3,5 tahun mengapa tidak, jika semua sudah dipersiapkan untuk menjadi siap?”
Di sisi lain, lulus 4 tahun pun juga baik. Lantas yang sering dipertanyakan adalah, kenapa harus 4 tahun jika 3,5 tahun pun bisa? Lalu 1 semester 8 saat sudah tidak ada beban mata kuliah, apa yang harus dilakukan di kampus? bagi para pejuang 4 tahun prestatif, tentu tidak kebingungan. Mereka justru memiliki ruang lebih banyak untuk memanfaatkan status “MAHASISWA”nya lebih lama. 1 semester terakhir bisa digunakan untuk menggenjot prestasi, student exchange, kontribusi di organisasi atau menambah skill dengan magang. Para pejuang 4 tahun ini pun bisa lebih fokus untuk mengejar mimpinya dan mempersiapkan diri untuk dunia pasca kampus. Bahkan bisa mempersiapkan research yang out standing yang bisa linear untuk studi S2 dan seterusnya, karena mereka tidak dibatasi waktu dan tidak khawatir jika waktu research tergolong cukup lama.
Lantas yang kurang baik yang seperti apa? Yang kurang baik adalah yang lulus 3,5 tahun dengan tergesa-gesa, yang hanya ingin mengejar kecepatan waktu, tanpa ada kontribusi, prestasi, skill dan ilmu yang masih sangat minim, mental yang belum terlatih dan tidak merencanakan masa depannya karena yang diprioritaskannya hanyalah hasil, yaitu cepat lulus. Sehingga yang terjadi adalah menambah jumlah pengangguran di Indonesia yang saat ini sudah mencapai 7,45 juta orang dengan 8,29% berpendidikan sarjana. Selain itu, fenomena lulus 3,5 tahun karena alasan eksistensi pun sangat marak terjadi, namun hanya sebagian kecil yang menyadarinya. Malu jika tidak lulus bersama dengan kawan seperjuangannya, ingin bisa diwisuda bersama, malu dibanding-bandingkan dengan yang sudah lulus “kakak ini sudah lulus, tapi dia belum” dan berbagai motif lain yang menjadikan alasan lulus 3,5 tahun untuk sekedar eksistensi dan pencitraan di depan manusia. Hal ini terutama terjadi pada fakultas atau jurusan yang memang setiap tahunnya banyak yang bisa lulus 3,5 tahun.
Dan yang kurang baik juga adalah yang lulus 4 tahun atau lebih, namun dengan alasannya yang kurang jelas seperti malas, menunda-nunda, ingin bermain-main dulu dan sebagian waktu kuliahnya di semester 1-7 digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif, sehingga tidak prestatif dan tidak kontributif. Betapa disayangkan waktu yang terbuang sia-sia dan juga biaya yang dikeluarkan orang tua untuk membayar biaya kuliah dan biaya hidup terutama bagi yang merantau.
Terlepas dari perdebatan tiada ujung antara lulus 4 tahun atau 3,5 tahun, waktu lulus adalah sebuah pilihan, yang pasti harus direncanakan dengan matang. Jika lulus 3,5 tahun harus dipersiapkan rencana selanjutnya untuk studi lanjut atau bekerja, sedangkan jika lulus 4 tahun pun juga harus dipersiapkan, apa saja yang akan dilakukan di 1 semester terakhir untuk mengerjakan skripsi sembari melakukan hal-hal yang produktif dan mempersiapkan hal-hal yang belum dipersiapkan. Semangat berjuang para mahsiswa tingkat akhir!
sumber: https://www.selasar.com/sainstek/lulus-35-tahun-sudah-siap-kah