Kemudian fenomena defisit fiskal tahun 1980-an yang berkisar 2,5% dari PDB meningkat menjadi surplus pada tahun 1993 dan bertahan hingga awal krisis.
Anggaran pemerintah juga hampir seimbang, antara 1990 hingga 1995, defisit transaksi berjalan Korea Selatan yaitu rata-rata 1,9% dari PDB. Namun, meningkat secara signifikan pada tahun 1996 menjadi 4,7% dari PDB atau senilai hampir US $24 miliar (Shalendra, 2003).
Defisit transaksi berjalan juga turun menjadi 2,5% dari PDB, dan pada pertengahan 1997 menjadi sekitar US $8,2 miliar atau 1,9% dari PDB (Shalendra, 2003). Sejak saat ini, gejala krisis ekonomi Korea Selatan mulai muncul.
Berdasarkan data tahun 1997, terdapat beberapa indikator yang menyebabkan perekonomian Korea Selatan menurun dari 8,9% pada tahun 1995 menjadi 6,8% pada tahun 1996 (Annissa, 2011).
Penurunan ini ditandai dengan defisit anggaran belanja yang sangat besar hingga mencapai US$15,2 milyar hanya dalam waktu 8 bulan pertama di tahun 1996. Kondisi ini jumlahnya dua kali lipat dari anggaran pada tahun 1995.
Pada kenyataannya defisit mencapai 23,7% untuk keseluruhan tahun tersebut. Hal ini semakin ditambah lagi dengan harga komoditi ekspor Korea Selatan yang mengalami penurunan nilai produk petrokimia, baja, dan pembuatan kapal (Annissa, 2011).
Nilai ekspor melambat dari 33% pada tahun 1995 menjadi hanya 3% pada tahun 1996 (Saito, 1998). Kondisi ini diperparah dengan depresiasi mata uang Yen Jepang. Mata uang Jepang mengalami penurunan sebanyak 17% pada mata uang Won, sehingga membuat harga barang-barang Korea Selatan menjadi mahal di pasaran Asia Tenggara (Kihwan, 1999). Padahal, harga impor barang yang masuk ke Korea Selatan tidak berubah, meskipun volumenya turun sebanyak 11% sampai pertengahan tahun.
Tanda-tanda lain yang menunjukan penurunan ekonomi Korea Selatan adalah meningkatnya hutang luar negeri secara cepat karena defisit perdagangan yang terjadi. Pada tahun 1996, hutang Korea Selatan diperkirakan sekitar US$100 milliar kepada kreditur internasional (Kihwan, 1999).
Hal ini semakin membuat Korea Selatan menjadi negara ketujuh dengan jumlah hutang terbesar.
Korea Selatan saat ini telah terintegrasi ke dalam sistem pasar global, di mana faktor kepercayaan kreditur memainkan peran penting. Dalam kondisi demikian, respons kebijakan harus berubah, misalnya, menutup bank yang bermasalah.
Pada umumnya, kebijakan ini membantu meningkatkan kepercayaan perekonomian dan mampu memfasilitasi pembiayaan eksternal. Namun, tetap saja tidak berkontribusi besar terhadap pemulihan ekonomi Korea Selatan.
Melemahnya nilai tukar mata uang Won di pasar saham mencapai angka 10% (Saito, 1998). Sebelumnya juga, pada akhir musim panas, pasar keuangan Korea Selatan mengalami kepanikan karena para investor bersiap-siap menarik modal mereka.
Hal ini ditambah lagi dengan krisis mata uang di Asia Tenggara yang dialami oleh Thailand dan Indonesia (CNN, 2018). Kondisi ini dapat dimengerti karena sebagian besar produk Korea Selatan di ekspor ke wilayah Asia Tenggara, sehingga kekacauan ekonomi yang terjadi di Asia Tenggara pasti memberikan dampak yang cukup berarti bagi Korea Selatan (Annissa, 2011, p. 29).
Sebagai respon terhadap kondisi pelemahan ekonomi domestik, Wakil Perdana Menteri Mr. Lim Chang-Yeol mengumumkan bahwa Pemerintah telah meminta dukungan IMF untuk melaksanakan program stabilisasi ekonomi dan reformasi kebijakan struktural. Program ini dibawa ke Dewan Eksekutif IMF dan disetujui pada 4 Desember 1997. Sejak saat itu, pemerintah Korea Selatan mulai memperkuat program tersebut atas mpendampingan intensif dari Dewan IMF (Saito, 1998).
Korea Selatan tidak dapat menemukan cara lain untuk keluar dari krisis moneter yang melanda negaranya pada saat itu. Bantuan keuangan IMF senilai US$57 miliar telah diumumkan oleh pemerintah yang terdiri dari paket darurat pertama berjumlah US$21 miliar dan paket tambahan US$14 miliar yang diberikan oleh Asian development Bank dan World Bank disusul bantuan Amerika Serikat dan Jepang dengan tambahan sebesar US$23 miliar.
Namun IMF memberikan bantuan keuangan tersebut dengan syarat bahwa Korea Selatan harus melakukan reformasi kebijakan ekonomi. Tujuan utamanya dari program ini adalah untuk menstabilkan nilai tukar dan membendung efek inflasi lain dari depresiasi mata uang.
Korea Selatan secara tidak langsung terpaksa harus berhutang kepada IMF dikarenakan kondisi perekomiannya yang terpuruk. Hal tersebut menjadikan IMF mengambil peran dalam menentukan kebijakan ekonomi Korea Selatan. Meskipun demikian, pemerintah Korea Selatan secara perlahan berhasil memulihkan negaranya dari krisis moneter tersebut dengan membayar hutang IMF tiga tahun lebih cepat dari rencana pembayaran yang disepakati.
Tidak hanya itu, Pemerintah Korea Selatan juga tidak ingin bergantung pada hutang IMF. Keberhasilan Korea Selatan untuk mengatasi krisis ekonomi nasional mengembalikan citra Korea Selatan sebagai negara yang mandiri (BBC, 2016).
Strategi Korea Selatan Keluar dari Krisis Ekonomi 1997
Dalam artikel yang ditulis oleh Ririn Darin (2010) yang berjudul “Park Chung-Hee dan Keajaiban Ekonomi Korea Selatan” dijelaskan beberapa kebijakan Park Chung-Hee yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian Korea Selatan.
Pemerintahan Park Chung-Hee berusaha merangkul masyarakatnya untuk ikut andil dalam memajukan perekonomian Korea Selatan.
Selanjutnya, dalam artikel tersebut juga dinyatakan bahwa terdapat empat kebijakan pokok Presiden Park Chung-Hee pada masanya. Pertama, kebijakan pembentukan Badan Perencanaan Ekonomi yang bertugas untuk menyusun perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh Korea Selatan untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian serta pembangunan ekonomi dan pemerataan pembangunan (Darini, 2010).
Kedua, kebijakan ExportOriented Industri (EOI) yang bertujuan untuk mengembangkan perusahaan industri ringan di dalam negeri yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Ketiga, kebijakan pengembangan industri berat yang bernama Heavy Chemical Industri (HCI).
Industri ini meliputi perusahaan produsen mesin-mesin berat, kapal laut, otomotif, petrokimia, dan baja. Keempat, kebijakan modernisasi pedesaan yang bertujuan untuk pemerataan pembanguan daerah pedesaan.
Berkembangnya industri tidak sejalan dengan perkembangan pertanian di pedesaan. Sebagai respon, pemerintah Korea Selatan, Park Chung Hee, membuat sebuah gerakan Saemaul Undong yang berarti modernisasi desa yang menghasilkan peningkatan pendapatan petani desa (Darin, 2010).
Dalam tesis yang berjudul “Keberhasilan Korea Selatan dalam Mendukung Industri Galangan Kapal sebagai Agenda Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi, Studi Kasus Keberhasilan Hyundai Heavy Industries” yang ditulis oleh M. Zuhaldi Feriawan Wijaya (Wijaya, 2017). Dalam penelitian tersebut, dijabarkan bahwa kebijakan Pemerintah Korea Selatan tentang industri Kapal dari perusahaan Hyundai Heavy Industries (HHI).
Perusahaan tersebut menjadi perusahaan kapal terbesar dan tersukses di Korea Selatan dengan permintaan yang selalu meningkat pesat setiap tahunnya ditinjau dari data yang disajikan peneliti. Industri ini turut membantu kemajuan ekonomi Korea Selatan ketika mengalami Krisis Moneter karena sudah berdiri sejak tahun 1970.
Sehubungan dengan berdirinya industri tersebut, Korea Selatan akhirnya membuka empat
pelabuhan. Tinjauan selanjutnya adalah bersumber dari tulisan “Financial Crisisin Korea and IMF: Analysis and Perspectives” oleh Lee yang menjelaskan tentang penyebab krisis moneter di Korea Selatan tahun 1997.
Menurut Lee (1998), pada dasarnya pemerintah Korea Selatan sangat anti IMF mengingat dampak pinjaman IMF sangat mengerikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ada pun penjelasan Lee bisa diringkas menjadi empat dampak pahit IMF bagi Korea Selatan yang meliputi beban suku bunga tinggi yang mencapai 30%.
Konsekuensinya, Korea Selatan menghadapi persoalan antara lain, peningkatan beban hutang, krisis mata uang, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena perusahaan sudah tidak menerima dana dari bank, dan yang terakhir adalah untested presiden (Lee, 1998).
Tinjauan selanjutnya berdasarkan jurnal yang berjudul “The South Korean Crisis of 1997 and its Aftermath: The Legacy of the Developmental State and the Importance of State capacity in Post-Crisis Adjustment” yang ditulis oleh M. Mustafa Erdogu. Dalam jurnal tersebut terdapat tiga pembahasan utama.
Pertama, Erdogu meneliti dan berusaha membuktikan argumennya tentang sejauh mana perkembangan Korea Selatan sebagai penyebab krisis ekonomi Asia. Kedua, digunakannya perspektif kritis tentang peran IMF dalam dan pasca krisis moneter yang terjadi tahun 1997. Ketiga, perhatian difokuskan pada dinamika yang mendasari proses pemulihan Asia era pasca-krisis di Korea Selatan.
Penyebab terjadinya krisis adalah liberalisasi keuangan yang tidak terkendali. Krisis 1997 sebagian besar disebabkan karena liberalisasi pasardan arus modal yang mengarah pada ketergantungan berlebihan terhadap sektor swasta.
Pada tahun 1997, pemerintah Korea Selatan tidak dapat menemukan cara untuk keluar dari
krisis moneter yang melanda negaranya, sehingga memaksa pemerintah menerapkan program darurat dari IMF pada November 1997 (Sohn, t.t).
Pada awal 1998, pemerintahan Kim Dae-jung yang baru terpilih mulai mereformasi sektor keuangan yang tidak efisien dengan menggunakan empat pendekatan (Sohn, t.t).
Pertama pemerintah harus menutup atau menggabungkan lembaga keuangan yang bangkrut dan memperkuat basis modal “Viabel Ones” yang membutuhkan penghapusan nonperforming loans pada lembaga terkait dan rekapitalisasi lembaga keuangan melalui Public Funds maupun investasi luar negeri.
Kedua, sistem regulasi perlu direformasi agar menciptakan transparansi dan akuntabilitas.
Ketiga, deregularisasi berkelanjutan dan liberalisasi pada pasar keuangan diperlukan untuk mendukung investasi asing dan menunjukkan komitmen untuk mereformasi finansial. Terakhir, pemerintah harus mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk melakukan reformasi ini (Mo, t.t).
Beberapa laporan menunjukkan bahwa krisis keuangan Korea Selatan pada tahun 1997 merupakan akibat dari masalah struktural yang membuat neraca lembaga keuangannya rentan terhadap guncangan eksternal.
Kerentanan keuangan patut mendapat perhatian khusus, karena pemerintah Korea Selatan mengusahakan strategi pertumbuhan yang tinggi untuk meminimalisir lemahnya pengawasan keuangan dalam negeri.
Oleh karena itu, langkah-langkah reformasi harus dilakukan di seluruh sektor keuangan dan perusahaan secara bersamaan. Restrukturisasi ini sangat penting karena perusahaan yang bangkrut adalah sumber masalah keuangan di Korea Selatan.
Dalam Desertasi yang ditulis oleh bapak Tulus Warsito saat ujian doktor di UGM, krisis ekonomi 1997 di Korea membuat rakyatnya bersatu untuk segera keluar dari masalah ekonomi mereka, maka tak heran justru pasca krisis 1998 korea menjadi negara yang maju hingga sekarang.
Dalam desertasi berjudul "Demokratisasi Pasca Krisis 1997 di Korea Selatan (Studi Hubungan Industrial)", beliau menyimpulkan bahwa pihak-pihak dalam hubungan industrial Korea Selatan beranggapan Krisis 1997 sebagai fakta politis, sebagai kenyataan ekonomi politik, sebagai musuh bersama, yang mempersempit pilihan-pilihan politik mereka sering bertikai karena pokok kepentingan mereka memang berbeda, maka dengan munculnya krisis 1997 pilihan mereka menjadi terbatas. Mereka meyakini bahwa pilihannya adalah maju bersama menanggulangi krisis atau hancur bersama. Rasionalitas semacam itulah yang menumbuhkan percepatan proses demokratisasi diantara mereka. (ugm.ac.id)
Itu tadi sobat campusnesia, postingan kita kali ini tentangSejarah Krisis 1998 di Korea Selatan yang Jadi Latar Waktu Drakor
Twenty Five Twenty One. Menarik ya semoga bermanfaat.
- Strategi Korea Selatan dalam Pemulihan Krisis Moneter Tahun 1997 Melalui IMF, Yola Natasyah Kaloka, Putri Tegar, M. Eldy - April 2019