Cerita berjalan seputar kegiatan harian di kantor Monthly Magazine Home yang baru saja diakuisisi dan dipimpin direktur baru Yoo Ja Sung, yang memiliki keyakinan bahwa rumah adalah sarana untuk menambah harta dan tempat tidur semata. Ia dikenal sebagai pakar investasi setelah kini menjadi kaya karena investasi real-estate yang ia pelajari.
Tentu saja ada komedi dan adegan romantisme lengkap dengan bumbu cinta segitiga sesuai genrenya, tapi di artikel kali ini bukan itu yang akan kita bahas.
Saya tertarik dengan tema sosial yang coba diangkat drama korea ini, tentang bagaimana para staff Monthly Magazine Home yang kesusahan dalam membeli rumah, padahal notabene mereka setiap hari bergulat dengan dunia yang berkaitan dengan rumah dan properti.
Pemimpin redaksi Choi yang hingga punya anak 2 masih tinggal di apartemen pinggiran dengan lift yang sering rusak, di marahi istri yang ingin segera pindah, Editor Nam yang harus datang ke peramal demi mendapat lotre agar mampu beli rumah, editor Yeo rela jadi sugar baby demi tinggal di apartemen mewah, dan Na Young Won sendiri yang sudah 10 tahun bekerja sebagai editor juga belum mampu beli rumah.
Generasi milenial kini mendominasi piramida penduduk Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah warga yang dikategorikan usia milenial mencapai 63,5 juta jiwa.
Kenaikan harga tempat tinggal sebesar 39,7% di 14 kota besar di Indonesia demikian menurut data Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) pada satu dekade terakhir.
Akan tetapi kenaikan UMR hanya sekitar 10% saja setiap tahunnya. Kita dapat melihat adanya kesenjangan antara kenaikan harga rumah yang tinggi dengan kenaikan gaji yang lebih rendah.
Akan berhubungan dengan poin ketiga, alasan generasi milenial susah untuk bisa beli rumah adalah mindset mereka. Saat ini sebagian generasi milenial belum sepenuhnya menganggap rumah sebagai kebutuhan pokok.
Menurut Prita Hapsari Gozhie pada laman Sharia green land, sebagian generasi milenial beranggapan jika dibandingkan harus membeli rumah dengan harga yang belum terjangkau, lebih baik uangnya dialokasikan untuk hal lain.
Berbeda dengan baby boomers (tahun kelahiran 1946—1964), generasi milenial cenderung memiliki tingkat konsumsi yang lebih tinggi terhadap sesuatu yang sifatnya hanya rekreasional dan kurang esensial.
Hal ini bukan karena mereka meremehkan harga rumah yang semakin tinggi tiap tahunnya. Justru karena generasi milenial merasa jika harga rumah sangat mahal, maka skala prioritasnya dialihkan ke hal lain, misalnya tiket konser atau liburan.
Generasi milenial cocok untuk mengajukan KPR dengan skema fixed rate. Karena dengan skema ini memungkinkan mereka dapat mengelola penghasilannya dengan lebih baik, khususnya para pekerja kreatif.
Sayangnya, bank yang menerapkan skema bunga fixed rate masih sangat jarang. Peluang naiknya bunga floating ini banyak membuat milenial kesulitan dengan cicilan yang harus dibayarkan.
Selain itu kendala lain yang juga dihadapi milenial adalah ketidaksiapan mereka untuk membayar uang muka atau DP.
Salah satu faktor yang memengaruhi milenial sulit untuk membeli rumah adalah pekerjaan. Saat ini bekerja di industri kreatif sedang menjadi tren di Indonesia, khususnya bagi generasi milenial.
Para milenial ini juga cenderung memilih untuk membuka usaha sendiri dibandingkan bekerja dengan orang lain atau perusahaan. Hal tersebut yang menyebabkan mereka tidak memiliki penghasilan tetap dan slip gaji resmi, sehingga sulit untuk mengajukan KPR ke bank. (berkeluarga.id)
Peningkatan harga properti tiap tahun tidak kongruen dengan pemasukan yang diterima oleh generasi milenial. Generasi milenial yang fresh-graduate dengan gaji umr akan kesulitan membeli rumah. Generasi milenial, menurut data yang disampaikan Untung, akan menjadi
generasi penyewa bila perencanaan finansial tidak dilakukan sejak dini.
Apa yang dimaksud dengan bubble properti?
Bubble property atau gelembung properti ditandai dengan melonjaknya harga perumahan akibat meningkatnya permintaan dan spekulasi. Kenaikan harga ini diibaratkan seperti gelembung udara yang terus membesar. Pada titik tertentu, permintaan akan mandeg atau terjadi kelebihan pasokan rumah sehingga harga mulai menurun. Inilah yang kemudian diartikan gelembung mulai kempes.Kenaikan harga properti bisa terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya karena meningkatnya permintaan. Penyebabnya tingginya permintaan juga ada berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah bunga kredit. Dengan bunga kredit yang semakin kuncup akan mendorong orang akan semakin tergoda untuk memperoleh pembiayaan rumah.
Faktor lainnya adalah lokasi perumahan. Lokasi yang strategis menyebabkan banyak orang ingin pindah ke tempat tersebut. Ini menimbulkan banyak permintaan.
Ketika harga merunduk, investor mulai berlomba-lomba keluar dari pasar supaya investasinya tidak tergerus (ketakutan). Dua emosi, rakus dan ketakutan, inilah yang memunculkan sikap irasional para investor sehingga melupakan jargon investasi paling dasar yakni "beli saat rendah dan jual saat harga tinggi." Yang terjadi kemudian adalah orang cenderung beli saat harga tinggi dan jual ketika rendah.
Pecahnya gelembung properti di Jepang telah memicu resesi ekonomi yang berkepanjangan hingga sekarang. Asal tahu saja, harga properti di Jepang secara nasional melonjak dua kali lipat dalam tempo 10 tahun. Bahkan, di kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, harga properti telah terbang tiga kali lipat pada 1989 silam.
Di Amerika, pecahnya gelembung properti pada musim panas 2006 juga menimbulkan resesi ekonomi. Bahkan, dampaknya terasa bagi perekonomian global. Harga perumahan yang turun tajam telah menyebabkan anjloknya nilai kekayaan rumah tangga, mengurangi belanja konsumsi dan akhirnya berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi.