Campusnesia.co.id – Beberapa waktu yang lalu, penulis menemukan sebuah postingan di akun twwitter @Undipmenfess yang mengeluhkan tentang LPJ yang harus ia buat untuk organisasinya, plakat seharga 50.000 harus ditulis menjadi 130.000 ia merasa hati nuraninya menjerit tapi tidak bisa berbuat banyak. Jelas pengirimnya adalah anoni karena ini akun menfess, di mana kita bisa mengiri twit melalui DM dan akan diposting secara anonim otoatis oleh bot.
Menarik untuk disimak, penulis dulu juga pernah aktif dalam organisasi mahasiswa, dari rohis, himpunan mahasiswa jurusan, senat mahasiswa dan terakhir wakil ketua bem fakultas. Selain itu sejak sepuluh tahun terakhir aktif menjalani usaha mikro dengan mayoritas customer dari kalangan mahasiswa, jadi melalui artikel kali penulis akan coba berbagi sudut pandang tentang dilematisnya LPJ kegiatan mahasiswa dan praktik budaya minta nota kosong.
Pengajuan Anggaran
Menurut penulis, akar dari masalah ini adalah saat penyusunan anggaran, biasanya panitia akan membuat anggaran yang nilainya di atas kebutuhan sebenarnya. Jika ditanya sebabnya, alasanya adalah untuk antisipasi pengeluaran tidak terduga yang mungkin saja harus dikeluarkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pengeluaran tak terduga pasti ada dalam pelaksanaan sebuah kegiatan, tetapi mustinya ini tidak dijadikan alasan untuk membuat anggaran jauh lebih besar dari dana yang dibutuhkan.
Katanya hari gini kalau mengkritik harus disertai solusi, padahal sebenarnya tidak ada kewajiban seoarang yang memberi kritik harus memberikan solusi juga. Tapi sebagai orang yang pernah di posisi ini, penulis akan coba berbagi pemikiran saja semoga bisa jadi referensi salah satu solusi.
Tentang penyusunan anggaran, sebaiknya disusun berdasar kebutuhan sebenarnya, untuk tahu harga barang dan jasa yang presisi di pasaran panitia harus survei terlebih dahulu, selain bisa tahu harga real, dengan survei panitia bisa mendapatkan berbagai varian harga dari sebuah produk dan jasa yang sama dengan vendor yang berbeda, bisa ambil yang paling murah atau di tengah-tengah yang pasti kualitas produk dan jasanya harus bagus.
Soal biaya lain-lain ya tulis saja di pos anggaran biaya tak terduga, jangan seperti praktik yang selama ini dilakukan, biaya tak terduga dimasukan dalam item-item lain yang sudah pasti harganya, seperti contoh di atas tadi, plakat harga aslinya hanya 50.000 atas nama menutupi biaya lain-lain di mark-up jadi 130.000, dosa lho itu.
Demikian juga dari pihak kampus, cobalah duduk bersama dan berfikir terbuka jangan saklek maunya menang sendiri. Bimbinglah mahasiswa yang sedang mengajukan anggaran dan membuat laporan pelaksanaan kegiatan agar membuat laporan keuangan yang jujur. Kalau memang kebutuhannya hanya plakat 1 pcs dengan harga 50.000 ya biarkan saja dilaporkan seperti itu adanya, jangan dipaksa harus dimasukan “item media komunikasi” yang nilainya lebih besar dari yang sesungguhnya.
Apa susahnya membuat item dan nomenklatur sesuai kebutuhan. Jika dana yang berikan kurang ya harap ditambahi dan jika memang lebih sebaiknya dikembalikan. Dengan demikian maka akan tercipta hubungan saling mengerti antara organisasi mahasiswa dan bagian keungan baik jurusan, fakultas maupun universitas tentang laporan keuangan.
Jika penulis bilang kita harus menghapus praktik korupsi apapun bentuk dan seberapa besarnya semua pasti setuju. Akan jadi ironi sebagai mahasiswa yang katanya agent of change mendukung pemberantasan korupsi tapi masih suka minta nota kosong saat LPJ demikian juga pihak kampus, jangan sampai orang awam berfikir dengan sistem LPJ yang ada sekarang, “seakan” kampus mengajarkan hal yang tidak baik.
Minta Nota Kosong
Sebagai pelaku usaha, tidak jarang penulis sering kali dimintai nota kosong. Ketika kami tanya untuk apa? Jawabanya untuk LPJ, kami gak masalah misal minta nota lebih dari 1 asal ditulis sesuai nominal yang dipesan, sayangnya mereka minta nota kosong tujuannya agar nominal harganya bisa ditulis sesuai kebutuhan, jelas kami tidak mengijinkan.
Alasanya selalu klasik, untuk menutup biaya lain-lain atau disesuaikan dengan nominal anggaran dari pihak keuangan kampus, lah kenapa enggak anggaran yang dari kampus saja yang disesuaikan. Misal anggaran dari kampus untuk plakat 100.000 lalu harga sebenarnya hanya 50.000 kenapa tidak sisanya dikembalikan ke kampus, itu akan jadi prestasi tersendiri karena bisa menghemat anggaran yang mana uang kampus adalah uang dari mahasiswa juga.
Kadang jengkel juga, kalau ada calon customer yang tidak jadi memesan sebuah produk hanya karena kami tidak bersedia memberi nota kosong. Padahal secara harga, kualitas dan waktu pengerjaan sudah sesuai yang diminta. Prihatin saja, mereka lebih memilih yang mau memberi nota kosong daripada penjual yang mencoba tetap bertahan dengan Idealisme mereka karena takut korupsi. Tapi ya gak apa-apa, itu harga dari mencoba berpegang teguh pada sebuah idealisme, toh sebagai seorang muslim penulis percaya rejeki sudah diatur dari Allah SWT.
Pelaku Usaha Tidak Dirugikan, Katanya
Dalam salah satu kesempatan, penulis tidak mau menandatangani sebuah LPJ karena item dan nominal yang ditulis tidak sesuai dengan produk dan nilai yang dipesan, jauh berbeda dari nota yang sebenarnya.
Mencoba memberi argumen, mahasiswa tersebut memberi penjelasan bahwa hal ini tidak akan merugikan kami sebagai pelaku usaha.
Lah gimana tidak merugikan, kami harus tanda tangan dan memberikan cap resmi toko untuk sesuatu yang tidak kami terima itu kan merugikan. Belum lagi jika ngomongin kredibilitas, bayangkan ada orang lihat LPJ itu sebuah plakat yang harganya 50.000 ditulis 130.000, orang yang tadinya ingin memesan mungkin saja megurungkan niatnya karena melihat harga yang mahal.
Belum lagi jika ada inspeksi, audit atau semacamnya, pelaku usaha bisa kena tegur hingga sanksi karena memberikan tanta tangan dan cap basah untuk sebuah LPJ yang tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.
Jadi ingat sebuah iklan rokok, dalam iklan tersebut digambarkan seorang pecinta sneaker sangat peduli pada setitik noda saos pada sepatunya, ia elap berkali-kali hingga bersih dengan tisu. Ketika temannnya bercanda “kecil doang, siapa sih yang Ngeh”, pemilik sneaker itu dengan bangga berkata “biar kecil, noda ya noda” tetapi setelahnya ia membuang tisu itu sembaranganya, dan temanya menimpali, “kayak sampah, biar kecil sampah ya sampah”. Kayak Korupsi biar kecil, korupsi ya korupsi.
"Hidup dengan memegang dan memperjuangkan idealisme di tengah kerumunan yang bertolak-belakang mungkin tidak akan menjadikanmu kaya, tetapi setidaknya kamu akan bisa hidup dengan tenang dan merdeka."
Badan Usaha Milik Ormawa
Poin penulis tetap ya, biar kecil korupsi ya korupsi, maka sebagai masukan mulai dari menyusun anggaran susunlah dengan jujur dan apa adanya. Sebaiknya antara organisasi mahasiswa dan pihak keuangan kampus mulai duduk bersama, cari akar masalah dan solusi agar budaya LPJ dengan secara tidak langsung mengakali laporan, nota kosong, tanda tangan dan cap palsu dll tidak lagi ada.
Pasti bisa lah, masak orang-orang cerdas pencetak agent of change masalah sepele gini saja tidak bisa menemukan solusi yang win-win dan bebas korupsi, katanya berani jujur itu hebat.
Saran lain dari saya adalah, biasanya di setiap organisasi mahasiwa ada bidang ekonomi, kewirausahaan, ekonomi kreatif atau apalah namanya. Mengapa kalian tidak berfikir membuat badan usaha sendiri? Semacam BUMN kalau di negara.
Dengan punya badan usaha sendiri, kalian bisa membuat holding company untuk kebutuhan-kebutuhan kalian selama kepengurusan, misal holding makanan dan minuman, holding cetak mencetak dan holding lainnya.
Dengan punya badan usaha mahasiswa, kalian berhak mengeluarkan nota dan membuat stempel sendiri, pihak-pihak pelaku usaha yang selama ini tempat kalian beli, cetak atau pesan untuk kebutuhan acara menjadi pihak vendor atau mitra.
Sebagai pelaku usaha kalian bebas menentukan mau menjual berapapun asal masih wajar, masuk akal dan yang paling penting ada yang mau beli.
Misal, bidang SDM akan mengadakan LKMM, mereka butuh plakat yang harganya 60.000 pesan ke badan usaha milik mahasiswa, nanti badan usaha milik mahasiswa akan memesan ke vendor yang harganya 40.000 dengan demikian kalian punya margin 20.000.
Margin ini bisa kalian simpan dan kumpulkan sebagai keuntungan, hasilnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain organisasi atau sumber dana pelaksanaan acara besar (semacam danusan dengan cara yang lebih keren).
Secara aturan legal, secara organisasi bisa melatih kemandirian dalam pendanaan dan tentu saja bagi pelaksananya akan mendapat pengalaman dan soft skills bidang kewirausahaan, setelah lulus bisa langsung buka usaha dengan pengalaman dan jaringan yang pernah di dapat.
Sebagai penutup, ayolah pihak kampus dan mahasiswa, kita sudahi praktik gak baik tentang LPJ dan Nota Kosong ini, apa kita tidak malu dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi? Sekali lagi biar kecil korupsi ya korupsi dan berani jujur itu hebat!. Semoga bermanfaat.
Untuk referensi lain, penulis menemukan 3 artikel teratas di pencarian Google dengan kata kunci "LPJ Nota Kosong",
pertama tulisan dari blog Suaralian.blogspot.com dengan judul "Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?" (baca selengkapnya di sini),
kedua tulisan dari web siarpersma.id, tulisan karya Devi Puspitasari berjudul "LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*" (baca selengkapnya di isni),
ketiga tulisan oleh Dadang di webiste ITS.ac.id berjudul "Korupsi? Ya atau Tidak" selain membahas nota kosong untuk SPJ juga menyinggung prilaku menyimpang penggunaan beasiswa dan dana hibah PKM, selengkapnya bisa dibaca di sini.
Penulis:
Achmad Munandar