Buku 'Aku Bangga Menjadi Menjadi Tunarungu' Oleh Santi Setyaningsih,
mahasiswa Sosiologi 2011. (TRI) - sumber: www.cahunsoed.com
Keterbatasan memang acapkali menjadi batu sandungan bagi beberapa penyandang disabilitas atau cacat untuk mewujudkan impian. Rasa minder dan perlakuan diskriminasi orang-orang sekelilingnya inilah yang seringkali membuat orang-orang penyandang disabilitas sangat sulit untuk mengembangkan dirinya. Namun bagi Santi Setyaningsih, seorang tunarungu dari Kabupaten Purbalingga, keterbatasan yang dimilikinya tidaklah menjadi penghalang untuk meraih cita-cita.
Wanita tunarungu yang mengalami gangguan pendengaran sejak di bangku sekolah dasar ini telah membuktikan bahwa ia mampu melakukan hal-hal yang mungkin saja tidak semua orang normal bisa menggapainya. Sebagai penyandang disabilitas, kesulitan mulai dialami saat menjejaki dunia pendidikan. Namun meski memiliki keterbatasan, Santi tak diperlakukan secara berbeda oleh orangtuanya. Apalagi Santi dilahirkan dari keluarga sederhana, dimana orangtuanya Sulyono (49) dan Siti Satinah (39) hanya lah PNS dan ibu rumah tangga biasa.
Setidaknya bagi keluarga sederhana ini, berani untuk memilihkan sekolah umum bagi Santi. Seluruh jalur pendidikan Santi ditempuh di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Kini Santi tercatat sebagai mahasiswi semester tujuh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Bagi seorang penyandang disabilitas, mengikuti pelajaran di sekolah umum pasti tidaklah mudah. Pengalaman 14 tahun melewati menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan orang normal Santi tuangkan dalam bukunya “Aku Bangga Menjadi Tunarungu”. Buku ini adalah karya pertama Santi, berisi sepenggal kisah Santi berjuang mendapatkan pendidikan seperti halnya wanita dan orang normal lainnya.
Berbagi melalui buku
Dalam dunia sunyi, para tunarungu berjuang melawan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dalam persaingan keras di tengah masyarakat umum yang majemuk berlapis-lapis status sosialnya. Belum lagi melawan sempit dan terbatasnya ruang gerak mereka sehingga para tunarungu “terpinggir”.
Launching Buku 'Aku Bangga Menjadi Tunarungu'
di Depo Pelita Sokaraja, Sabtu (11/7). (TRI) - sumber: www.cahunsoed.com
Melalui buku ini Santi mengajak kita semua untuk peduli pada mereka yang memiliki keterbatasan atau yang biasa disebut penyandang difable, terutama tunarungu. Melalui buku ini juga Santi ingin menebar inspirasi bagi keluarga penyandang difable agar berani menempuh kehidupan normal bagi keluarganya yang memiliki keterbatasan. Melalui buku ini, santi juga ingin berbagi kepada sesama penyandang tunarungu yang tidak memiliki kemampuan ekonomi membeli alat bantu dengar.
Melalui hasil penjualan buku, Santi mendedikasikannya untuk membantu mereka memiliki alat bantu dengar, karena harga satu buah alat bantu dengar sangatlah mahal. Oleh karenanya, tidak semua tunarungu dapat memiliki alat ini. Hal ini pula yang kemudian membuat para tunarungu pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan (bicara). Biasanya akibat kekurangannya tersebut akan membawa dampak yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa.
Selain keterbatasan pada kemampuan bahasa, penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya, terutama dalam aspek kecerdasan, dan penyesuaian sosial. Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi para penderita tunarungu (terutama pada usia produktif) memerlukan layanan atau bantuan secara khusus. Salah satu bantuannya yaitu alat bantu mendengar.
Bagi tunarungu yang berasal dari keluarga berada, alat bantu dengar bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan, tapi bagi keluarga yang tidak mampu, harga menjadi kendalanya. Hal inilah yang akan dijembatani oleh Dompet Dhuafa Jawa Tengah. Melalui buku Santi Setyaningsih, Dompet Dhuafa berikhtiar untuk membantu para tunarungu memperoleh alat bantu dengar.
Melalui penjualan buku karya seorang difable tunarungu, Dompet Dhuafa ingin berbagi nilai kepedulian, kebanggaan dan penghargaan bagi setiap insan ciptaan Tuhan dengan sesempurnanya bentuk. Karena fitrah manusia, pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan juga bukan merupakan akhir dari kehidupan, banyak tokoh-tokoh inspiratif dan hebat justru lahir dari keterbatasan yang mereka alami.
Melalui program ini pula, Dompet Dhuafa mengajak individu, kelompok maupun corporate untuk turut mendukung mereka yang memiliki keterbatasan, terutamanya para tunarungu dengan berkontribusi melalui penggalangan donasi untuk pengadaan alat bantu dengar bagi tunarungu di Kabupaten Purbalingga. Purbalingga merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah dengah jumlah penduduk 863.391 jiwa (Purbalingga Dalam Angka, 2013). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Purbalingga, jumlah penyandang disabilitas tunarungu ada 1.266 (Survey BPS, Potensi Desa,2014) yang tersebar diseluruh kecamatan di Kabupaten Purbalingga.
Mari bantu tunarungu mendengar.
sumber: http://jateng.dompetdhuafa.org/bantu-tunarungu-mendengar/#